BARRA
Gue sudah lupa kapan terakhir kali gue mendapatkan tidur sebaik ini. Bagi yang punya insomnia seperti gue, bisa memejamkan mata jam dua belas malam saja sudah ingin sujud syukur.
Saat nggak bisa tidur—biasanya gue melampiaskan dengan bermusik. Tengah malam gue menggitar sendirian sambil menyenandungkan lagu-lagu patah hati. Lalu melamun pukul empat pagi sampai waktu terus berjalan dan hari tiba-tiba sudah terang.
Masalahnya bukan hanya pada jam tidur gue yang kacau. Melainkan kurangnya waktu tidur yang seharusnya gue dapatkan. Tanpa obat tidur, gue nggak akan bisa tidur nyenyak dan berakhir jadi zombie.
Akan berbeda jika Naura berada di samping gue. Gue nggak butuh obat tidur kalau ada dia. Trust me, alasan kenapa gue bangun lebih awal pagi bukan ini karena tidur gue nggak nyenyak. Gue hanya ingin bisa melihat wajah Naura sepuas yang gue inginkan. Gue nggak bisa menebak, Naura akan bereaksi seperti apa begitu bangun nanti.
Hari menunjukkan pukul setengah tujuh. Resya tadi menelpon buat mengingatkan gue kalau gue akan tampil di acara musik pagi di salah satu stasiun TV. Artinya, gue mau tidak mau harus beranjak dari dari tempat ternyaman ini walaupun sebenarnya gue enggan banget. Gue masih kangen Naura. Gue masih ingin melihatnya.
Di bawah cahaya matahari, wajah Naura nampak makin bersinar. Rambut coklatnya berkilau indah menutupi pelipisnya. Membut gue nggak tahan untuk nggak menggerakkan tangan, menyisir surai indahnya ke belakang telinga lalu menyapukan tangan ke pundaknya yang terbuka. Mengelus tanda merah di tulang selangkanya—tanda yang sengaja gue tinggalkan untuk meninggalkan jejak. Bukan hanya di sana. Tapi leher, tengkuk, dan dadanya.
Baru beberapa detik, suara erangan Naura membuat gue mengangkat wajah. Naura mengerjapkan mata sebelum benar-benar terbuka. Begitu pandangan kami bertemu. Bukannya sapaan manis selamat pagi, gue malah mendapat decakkan sebal—bersama badannya yang berbalik memunggungi gue.
"Nau..." gue menggigit bibir gemas. Melingkarkan tangan di perutnya. "Pagi-pagi kok udah ketus sih?" kepala gue menyusup di bahunya.
"Jangan ganggu aku, Barra. Aku masih ngantuk." Ketusnya.
"Bukannya seharusnya aku yang bete ya." Bibir gue terbenam di lehernya. Menyapu kulitnya sampai lengan. "Bisa-biasanya kamu ninggalin aku tidur."
Naura tak bersuara. Mungkin kembali tidur. Atau memang sengaja diam seperti biasa yang ia lakukan. Apapun itu. Nggak menghentikan kegiatan gue yang kini mencium tengkuknya. Menghirup aroma mawar dari tubuh Naura seperti dia oksigen. Tecnically, she is my oxygen.
"Astaga, Barra!" Naura memekik geram ketika gue usil menempelkan kejantanan gue yang menegang ke bokongnya. Badannya kembali memutar, mengambil jarak dari gue. "Really? Ini masih pagi! Bisa nggak adik kamu itu dijaga dulu."
Gue terkekeh. "It's morning wood, Nau. Well, walaupun dia bakal tetap bereaksi karena lagi di dekat kamu sih."
Mulut Naura menganga sambil geleng-geleng kepala. "Gila kamu!" dia menarik selimutnya lebih tinggi sampai gue nggak bisa menikmati pemandangan bahu mulusnya. "Bukannya kamu harus pergi?"
Kening gue terlipat. Berkesimpulan Naura sudah bangun dari tadi sampai ia mendengar percakapan gue dan Resya lewat telpon.
"Aku ada tampil di acara musik pagi."
"Kenapa belum siap-siap?
"Sebentar lagi," gue meringsut mendekat. Mengulurkan tangan hendak merengkuh Naura—tapi dia bergerak mundur. Bibir gue berdecak. Menarik tangannya dalam satu kali sentakkan, hingga ia jatuh dalam pelukkan gue. Sigap tangan dan kaki gue menguncinya. Tak memberi celah untuknya kabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomansaLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...