dix

4.7K 381 28
                                    

BARRA

Gue melemparkan senyum sambil melambaikan tangan kepada penonton usai mengakhiri performance. Suara riuh penonton bahkan masih gue dengar ketika gue keluar dari panggung menuju backstage. Resya dengan cekatan langsung menyodorkan air minum serta mengelap keringat yang membasahi dahi hingga leher gue.

"Gila! Aura lo di panggung bikin hati gue geter, Barra! Bangga banget gue jadi Manajer lo!"

Gue hampir memuntahkan tawa mendengar ucapan konyol Resya. Tapi yang terlukis di bibir gue hanya senyum kecil sebelum gue menggunakannya untuk menegak minuman dengan cepat.

"Gue mau langsung balik ke hotel." Tukas gue sambil mengusap bibir dengan punggung tangan. "Bilang aja gue nggak enak badan makannya nggak bisa ikut after party."

Rasya mengangguk. Mengikuti gue yang melangkah cepat melewati lorong menuju waiting artist room yang bertuliskan nama gue. "Iya. Lo memang harus istirahat. Lo bahkan belum tidur sejak kemarin. Nggak usah pikirin party. Pikiran aja kesehatan supaya lo bisa promo maksimal buat album lo nanti."

Sambil lalu, gue melemparkan senyum ramah pada panitia dan beberapa musisi lain yang gue jumpai.

"Besok balik Jakarta jam berapa?"

"Sore. Jam lima. Kalau lo mau jalan-jalan ngitarin Jogja, nanti gue siapin mobil buat lo. Atau lo mau motoran aja?"

"Liat nanti." Jawab gue singkat. Resya kelihatan ingin bicara ketika gue membuka pintu. Namun kalimatnya tertelan kembali karena gue bisa menebak apa yang ingin ia katakan.

Seorang cewek yang mengenakan crop top putih dipadu dengan celana high waist khasnya duduk di sofa ruangan gue. Dia tersenyum, mengangkat tangannya untuk menyapa. "Hey, Barra."

"Razalea is here," bisik Resya. "Gue mau bilang itu tadi."

Gue mengangguk. "Tolong beliin gue kopi, Res. Kayak yang biasa." Ucap gue yang mengundang ekspresi keberatan di wajah Resya. Tentu aja dia was-was meninggalkan gue dengan Razalea karena takut gue akan melakukan sesuatu yang mengundang kontravensi atau gosip yang akan membuat image gue makin buruk di mata masyarakat.

"Resya," tegas gue yang bikin Resya mendengus dan membalikan badannya.

"Dia masih membenci gue ternyata," tukas Razalea setelah kepergian Resya. Gue menutup pintu lantas mengambil handuk kecil yang disampirkan di kursi meja rias untuk mengelap keringat yang membanjiri badan gue. Seolah keberadaan Razalea nggka ada, gue menarik kaos yang gue pakai ke atas sambil memandang cewek itu yang tidak memutus pandangan dari gue.

"Gue nggak tahu lo di Jogja."

"Gue baru tahu tadi sore kalau lo di Jogja." Razalea melipat tangannya. Menyatukan punggungnya dengan sandaran sofa. "So, how are you?"

Sudut bibir terangkat. "Really? Elo nyamperin gue ke sini buat nanyain kabar gue?"

"Memang lo pikir gue nyamperin lo karena apa?"

"Because you miss me?"

Razalea tergelak. "Barra dan kepercayaan dirinya."

Bahu gue terangkat cuek. Mengambil baju ganti di dalam tas dan mengenakannya di depan Razalea—yang masih bertahan di posisi yang sama. Sebenarnya gue juga nggak terlalu peduli dengan alasan keberadaan Razalea di sini—di saaat dia nggak ada jadwal manggung di Jogja sama sekali.

"Nyokap gue sakit," bisiknya. Cukup pelan. Namun masih bisa gue dengar. Gue menoleh. Kali ini kesedihan di matanya tidak berusaha ia tutupi. "But she's fine now."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang