BARRA
Saat membuka mata, yang gue lihat pertama kali adalah langit-langit ruangan yang serba putih. Cahaya lembut menyerbu penglihatan gue. Membuat gue menoleh ke samping lalu tersentak kaget mendapati Naura tidur dengan posisi duduk di kursi dan kepala terkulai di sebelah lengan gue.
Shit! Pasti Mas Naren yang kasih tahu. Padahal gue sudah bilang ke Mas Naren buat nggak ngasih tahu siapa-siapa. Terutama Naura. Gue nggak mau bikin dia panik. Terlebih soal ini. Rencananya gue bakal ngabarin Naura besok pagi buat ngasih tahu kalau gue nggak bisa datang bareng dia ke pertunangan Claire karena ada schedule dadakan. Bukannya apa, memalukan rasanya jatuh dari motor karena keteledoran gue sendiri.
Gue menghela napas pelan. Melarikan mata ke tubuh Naura untuk menyadari kalau dia hanya hanya mengenakan piyama pendek yang dibaluti jaket. Bisa gue tebak, Naura pasti kebangun tengah malam karena telpon Mas Naren dan bergegas ke sini tanpa mengganti pakaian dulu.
Dengan agak kepayahan, gue bangkit duduk, menyingkirkan selimut buat memindahkannya ke tubuh Naura. Tapi karena gerakkan gue terbatas sebab tangan kanan gue sakit—alhasil Naura kebangun.
Kepalanya terangkat diikuti matanya membola saat melihat gue. "Kamu mau ngapain? Lagi butuh sesuatu? Aku panggilin dokter—"
"Naura," gue menahan tangan Naura yang hendak bangkit berdiri. "Aku nggak butuh apa-apa. Kamu di sini aja."
Naura diam sejenak. Menatap gue penuh keraguan. Di saat gue sudah yakin Naura menuruti keinginan gue—perlahan-lahan gue melepaskan tangannya
"Kenapa selimutnya nggak dipake?" tanyanya, kembali duduk di sebelah gue.
"Mau kasih ke kamu," gue menjawab. Menolak Naura yang hendak menyelimuti gue lagi. "Kamu aja yang pake. Kamu kan nggak tahan dingin."
"Orang sakit seharusnya yang pake, Barra." Naura bersikukuh. Ia berhenti sebentar tatkala pandangannya bertemu dengan tangan gue yang diperban. Di balik bola matanya, gue bisa melihat kesedihan di sana.
"Aku nggak apa-apa." Ucap gue buat menenangkan Naura. "Cuma lecet dan luka dikit."
"Kenapa bisa gini?" tanyanya. Masih belum melepaskan pandangannya dari tangan gue.
"Jatuh dari motor."
Naura menatap gue. Menyiratkan kalau dia ingin penjelasan lebih detail.
"Touchdown Jakarta, aku minta anak BARC buat anterin motorku ke bandara. Mungkin karena tengah malam dan aku agak ngantuk, aku jadi nggak fokus terus jatuh." Ya, ya, gue memang bodoh banget. Tapi yang ada dalam pikiran gue—gue cuma pengin cepat sampai apartemen dan ketemu Naura. Makanya gue milih naik motor sendiri.
"Seharusnya kamu minta dianterin pulang bukan malah ngide naik motor sendiri, Barra." Tukasnya tak habis pikir.
Gue diam. Nggak berniat membela diri. Terlebih Naura sekarang kelihatan gusar dan cemas banget. Samar-samar, gue bisa melihat jejak orang yang habis menangis dari wajahnya.
"Sorry, aku nggak bisa nemenin kamu ke pertunangan Claire." Sesal gue setelah beberapa saat kami diam.
"Kamu pikir aku masih peduli soal itu?" Naura menatap gue sebal. Kemudian melanjutkan. "Mending kamu tidur lagi. Ini udah mau subuh."
Gue mengangguk. Menggeser badan hingga ada sisi kosong di sebelah gue. "Sini. Kamu tidur di sebelahku."
Naura mengerjap. "Nggak usah aneh-aneh."Ia menolak. Tentu aja. "Tidur, Barra. Aku bisa tidur di sofa."
"Aku nggak bakal tidur kalau kamu nggak tidur di sini," kukuh gue. Menepuk sisi kosong di sebelah gue.
"Barra, kamu lagi sakit." Desahnya tak habis pikir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...