BARRA
Sudah sangat lama gue nggak bertemu dengan orang tua Naufal. Mungkin Naura juga begitu, sebab itu dia jadi sangat canggung tadi. Gue mencoba untuk tidak terlalu memikirkan respon spontan Naura yang menyingkirkan tangan gue dari pinggangnya. Gue percaya dia melakukan itu tanpa sadar dan tidak bermaksud buruk. Yang paling penting, gue berusaha untuk tidak egois dan memberikan Naura bicara dengan Mama Naufal yang memang gue tahu sangat akrab dengan Naura sejak Naufal mengenalkan Naura ke orang tuanya.
Di saat Naura bicara berdua dengan Mama Naufal, gue dan Om Ridwan saling menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. Om Ridwan masih sebaik dulu. Beliau memuji prestasi-prestasi yang gue dapatkan selama berkecimpung di dunia musik. Sesuatu yang bikin gue merasa bersalah sebab gue tidak seperhatian itu pada beliau.
"Om dengar kamu dan Naura sekarang bersama," ucap Om Ridwan.
Gue hanya mengangguk singkat. Bukan karena tidak mau mengakui hubungan gue dan Naura. Hanya aja, you know, Naura dulu adalah pacar putra satu-satunya—yang mana adalah sahabat gue.
"Om senang mendengarnya." Gue mengangkat wajah terkejut. Berbeda dengan Om Ridwan yang tersenyum lalu menepuk bahu gue. "Naufal pasti lega karena ada kamu yang menjaga Naura."
Seharusnya gue merasa senang karena Om Ridwan tak mempermasalahkan hubungan gue dan Naura. Cuma gue merasa getir ketika mendengar kalimat terakhir Om Ridwan.
Apa benar Naufal lega melihat gue bersama Naura sekarang?
Sepertinya bukan hanya gue yang mengalami kekalutan mental. Naura pun begitu, tawa kami tak lagi terdengar. Di perjalanan pulang kami berdua sama-sama mengunci bibir. Tak bicara sepatah kata pun. Gue nggak mau mendesak Naura untuk bercerita. Saat ini Naura pasti ingin waktu sendiri. Kendati gue sebenarnya penasaran dan ... ada sedikit perasaan khawatir yang membuat gue sulit tidur setelah gue mengantar Naura ke unit apartemennya.
Gue melirik jam yang menunjukkan pukul 01.10 pagi—waktu dimana seharusnya gue tidur dan bukannya duduk di balkon sambil mengintip ponsel gue gamang mau menelpon Naura atau nggak. At least, gue ingin tahu dia baik-baik aja. Karena ekspresi Naura yang nampak kalut terbayang-bayang di kepala gue.
Gue menghela napas. Meletakkan ponsel ke meja lalu meraih gitar dan memainkannya acak. Memutuskan tidak mengganggu Naura sekarang. Kalau sampai besok dia ternyata malah menghindari gue—maka gue nggak punya pilihan lain selain memintanya terbuka tentang apa yang terjadi.
Gue tahu Naufal tidak akan pernah terlupakan. Tujuan gue dan Naura ke Psikolog bukan buat melupakan Naufal—melainkan ingin berdamai dengan masa lalu dan diri kami sendiri. Hingga sekarang kami masih menjalani konsultasi, yang gue harapkan hal itu akan mampu membimbing kami menjadi seseorang yang lebih baik positif dan menerima masa lalu kami.
Yeah. Gue hanya berharap gue dan Naura melewati semua ini dengan tangan bergenggaman tanpa saling melepaskan lagi.
***
Keesokan harinya, gue dibangunkan oleh suara lembut nan indah yang berkicau di telinga gue. Awalnya gue pikir gue sedang bermimpi mendengar suara Naura memanggil-manggil nama gue. Tapi begitu merasakan tangannya lembut di kepala gue —gue sadar gue nggak sedang bermimpi.
"Barra, wake up," katanya. "Wake up, Sleepyhead,"
Gue mengerjap-ngerjapkan mata. Menggeser kepala gue sedikit untuk mendapati Naura tersenyum cerah pada gue. "Dasar kebo!" ejeknya. Mengecup hidung gue pelan. "Aku bangunin dari tadi susah banget."
"Eung ... " Masih berusaha mengumpulkan kesadaran dan nyawa sembari ngulet guna meregang dan melemaskan tubuh gue yang terasa kaku dan tegang—gue membalas senyum Nuara. "Hey, beautiful," sapa gue dengan suara serak. Tersenyum miring.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
Roman d'amourLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...