NAURA
Aku sudah menduga akan bertemu Barra hari ini. Cuma tak kusangka akan mendapatinya dalam keadaan dia tidur di sofabed apartemenku.
Barra adalah salah satu manusia di sekitarku yang jarang banget tidur. Bukan karena tidak mau. Melainkan cowok itu memang memiliki insomnia yang cukup mengkhawatirkan. Sudah berulang kali aku menyarankan agar ia pergi, namun dia selalu berkelit dengan alasan tidak punya waktu dan sibuk. Sebab itu, melihatnya tidur nyanyak di pukul tujuh malam cukup mengagetkan.
Jaket kulitnya tersampir di bahu sofa. Menyisakan kaos putih tipis yang tak cukup hangat untuknya. Barra melipat tangan, meringkuk dalam posisi miring. Jelas, sofabed-ku tidak cukup besar dan luas untuk menampung tubuh bongsornya.
Entah sejak kapan dia di sini—akan tetapi bila menelisik dari apartemenku yang sudah rapi, padahal jelas-jelas aku meninggalkannya dengan kondisi super berantakkan—bisa disimpulkan Barra sudah cukup lama berada di apartemenku sampai ia sempat buat bersih-bersih.
Aku bahkan sangsi dia pulang ke apartemennya. Meski sedang tidur pun, gurat lelah di wajah Barra sama sekali tak tersamarkan. Mungkin dia baru tidur. Mengingat di letter card yang ia tulis—cowok itu berkata belum tidur sejak kemarin. Not something surprising actually. Barra yang kukenal memang begitu jika sudah masuk ke dalam studio. Dia bahkan bisa tidak mandi berhari-hari saat sedang fokusnya mengerjakan musiknya. Berubah menjadi cowok nerd yang tidak mengenal dunia luar.
Melihatnya yang memeluk dirinya sendiri membuatku tergerak mengambil selimut. Menyelimuti tubuh besar Barra karena dia tidak tahan dingin tapi bisa-bisanya melepas jaketnya.
Setelahnya kuletakkan bag di atas meja. Duduk di depan sofa sembari memeluk lutut menghadap Barra. Jarang-jarang aku bisa melihatnya tidur nyenyak begini. Biasanya, jika kami sedang bersama. Barra selalu tidur paling akhir dan bangun lebih awal dariku. Aku jarang memiliki momen melihat wajah Barra yang tenang ketika tertidur.
Jika pun ada, aku takut melakukannya karena tidak mau larut dalam perasaanku.
Yeah, aku memang sepengecut itu. Aku takut mengembangkan perasaan yang kumiliki untuk Barra. Even though the more I try to forget him, the more he appears in my mind.
"Kamu mau ngomong apa sih, Bar? Tumben banget nyuruh aku datang cepet-cepet begini. Hari ini aku ada les. Sampai Mamaku tahu aku bolos, kamu tanggungjawab ya!" Aku mengomel begitu masuk apartemen. Melepaskan chanel backpack yang kudukung kemudian menaruhnya di sofa.
Kulipat tangan menatap Barra yang berdiri di hadapanku sambil senyum-senyum. Alisku terangkat. Janggal dengan senyumnya. "Kenapa sih?" tanyaku mulai penasaran.
Barra mengulum bibir. Lantas mengeluarkan sesuatu di balik punggungnya. Sebuah map hitam yang ketika dia buka berisi selembar kertas dengan martai serta tanda tangan Barra di bawahnya.
"Barra..." bibirku kelu. Menyambar cepat map tersebut dari tangannya untuk membaca setiap baris kata tanpa melewat satu pun. "Kamu...kapan...maksudku," Aku kesulitan mencari kata-kata sebab dadaku kini depenuhi oleh perasaan bahagia.
Cowok itu tersenyum, menganggukkan kepalanya menegaskan. "Yes, Naura. Aku baru aja tanda tangan kontrol sama FeelRyhtem."
Mataku tiba-tiba berkaca-kaca. Rasa haru dan bahagia yang bercampur menjadi satu membuatku implusif menjijitkan kaki lalu mengalungkan lenganku di leher Barra. Memeluk cowok itu sambil melontarkan ucapan selamat. "Congratulations, Bar! Aku senang banget!"
Barra terkekeh. Kedua tangannya balas mendekapku. Lebih erat yang dari yang kulakukan hingga tubuhku terdorong lalu menempel dengan tubuhnya. Seketika aku tertegun. Namun sepertinya Barra tak menyadari reaksi tubuhku yang menegang karena kurasakan napas hangatnya menyentuh lekuk leherku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...