BARRA
Tidak ingin kalah dari Jonathan, pagi-pagi sekali gue sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Naura. Menunggunya muncul setelah gue menekan bel berulang kali. Gue nggak berekspektasi apa-apa. I mean, mengingat semalam Naura memberikan jawaban mengambang—pikir gue dia masih tidur nyenyak.
Di luar dugaan, cewek itu ternyata sudah bangun dengan wajah yang kelihatan segar. Meski sedikit, gue menyadari Naura memakai make up. Senyum gue terkulum senang. Memperhatikan lagi penampilan manis Naura yang hanya menggunakan legging hitam yang dipadu dengan hoodie abu-abu.
"Aku pikir kamu masih tidur."
"Semalam aku tidur cepat. Makanya bisa bangun pagi."
Gue hanya mengangguk sekenanya. Lantas mengajak Naura turun ke bawah.
Grandis adalah coffe shop favorit Naura. Dia lumayan sering nongkrong di sini sambil membawa buku sket-nya di setiap weekend.
Seperti yang gue duga, pagi-pagi begini, Grandis sudah cukup ramai. Kebanyakkan pelanggannya adalah penghuni gedung apartemen kami. Makanya gue nggak terlalu takut diciduk fans.
Naura memesan kopi dan croissant. Like always. Sementara gue yang kelaparan memilih makanan yang mengenyangkan. Nasi goreng.
"Bukannya kamu mau konser?" kening Naura mengernyit heran melihat porsi makan gue yang pakai ayam dan telur dadar dua. "Resya nggak ngomel kamu nggak jaga makan begini?"
Megingat Resya bikin gue berdecak tanpa sadar. "Nggak usah ngomongin Resya. Aku lagi bete sama dia."
Mata Naura mengerjap. Heran karena biasanya separah apapun omelan Resya, reaksi gue paling ketawa tanpa rasa bersalah. "Tumben. Biasanya dia yang selalu bete sama kamu."
"Masa dia lebih milih Jonathan dari pada aku?!" gue mengadu. Lalu membuang napas dan menumpahkan keluh gue pada Naura soal Resya yang makin hari makin nyebelin. "Kemarin dia lihat Jonathan ngantar kamu. Dia bilang kalian cocok di depanku. Parahnya, dia pengin hire Jonathan terus ninggalin aku buat jadi manajer Jonathan. Memangnya apa bagusnya sih si Jonathan itu di daripada aku?"
Sepersekian detik gue bisa melihat senyum geli yang berusaha ia tutupi sebelum cewek itu berdehem lalu berkomentar. "Aku ragu Jonathan mau masuk manajemen kamu."
"Aku juga bakal menentang kalau dia masuk manajemenku!" seloroh gue kemudian menyipitkan mata. "Aku lebih mengedepankan bakat daripada tampang ya."
"Berarti kamu mengakui tampang Jonathan dong," Naura berkata usil.
"Dia ganteng. Tapi nggak lebih ganteng dari aku." Gue berkata dengan penuh percaya diri.
"Pfft..." Naura menutup mulut menahan tawa. Kontan mata gue melebar. Tersinggung dengan reaksi Naura. Jangan bilang Naura berpikir Jonathan lebih ganteng daripada gue?!
"What was that?" gue memajukan badan. Menatapnya serius. "Apa maksud kamu nahan ketawa, Naura?"
"Nothing," Naura menggeleng dengan bibirnya yang berkedut lantas meraih kopinya dan menyeruputnya perlahan-lahan. Menghindari pertanyaan gue.
"Kamu pilih aku atau Jonathan?" sekonyong-konyongnya pertanyaan itu keluar karena gue benar-benar nggak suka dibandingkan dengan si Jonathan.
Serius, apa hebatnya sih si Jonathan?
Naura menaruh lagi gelasnya sambil memutar bola mata. "Not again, Bar."
"Okay. Aku ganti pertanyaannya. Gantengan aku atau Jonathan?"
"Really, Barra?" Naura memberikan tatapan mencemooh sebelum menambahkan. "Kamu ngajuin pertanyaan kekanakan itu sama aku?"
"Pertanyaanku nggak kekanakan. Aku serius pengen tahu selera kamu."
![](https://img.wattpad.com/cover/300824408-288-k661273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
Roman d'amourLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...