NAURA
Percakapanku dengan Ayana masih menari-nari di dalam kepalaku. Memang Ayana tidak berkomentar banyak ketika aku memberitahu kedekatanku dengan Barra sekarang lebih dari teman—namun aku tidak bisa memungkiri ada perasaan takut yang membuatku agak sedikit resah.
Aku membuang napas panjang. Keluar dari pintu lift begitu sampai di lantai unit apartemen Barra. Di setiap langkah, aku mencoba untuk mengusir perasaan-perasaan negatif itu dari kepalaku. Tidak ingin membawa keresahan ini menemui Barra. Cowok itu sudah terlalu banyak bersabar buatku. Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya oleh sebuah kemelut yang kembali kurasakan ketika nama Naufal kembali disinggung.
Bibirku menorehkan senyum begitu membuka pintu. Mendapati Barra yang duduk di sofa sembari menukar-nukar channel tidak semangat. Aku tahu dia sudah menyadari keberadaanku. Tapi namanya Barra yang bakal caper saat sakit—cowok itu sengaja tidak menoleh—memberi gestur ingin dibujuk.
But I'm not going to persuade that a spoiled boy. Kubelokkan langkahku menuju pantry, mengambil satu kaleng soda lantas menarik stool dan duduk di sana sembari mengecek beberapa pekerjaanku di iPad.
Tidak membutuhkan waktu lama, aku mendengar suara derap langkah. Lalu punggungku terasa hangat oleh dekapan seseorang dari belakang. "Jahat. Memangnya susah banget buat sekali aja bujukin aku?"
Aku mengulum bibir. Melepaskan iPad dari tanganku lalu menoleh ke belakang untuk menemukan wajah Barra tepat di depanku. "Sejak kemarin aku itu udah bujukin kamu terus." Lantas kubalikkan badan yang membuat Barra kelihatan terpaksa melepaskan tangannya dari tubuhku. "Mau dibujukin kayak gimana lagi, hm?"
"Kamu bilang bakal pulang cepat." Barra memanyunkan bibirnya. "Ini udah jam lima, Naura. Kamu janji pulang jam tiga."
"Kamu tahu Ayana gimana, Barra." Kuraih tangannya yang tergantung di sisi tubuhnya. Lantas mendongak menatap sosok tinggi dengan badan tegap di depanku. "Aku kan tadi udah ngabarin bakal pulang telat."
Barra diam yang membuatku bangkit berdiri lalu memeluknya. "Kenapa sih? Aku tahu kamu lagi sakit. Tapi nggak biasanya kamu sampai semanja ini."
Cowok itu membalas pelukanku. Bahuku memberat akibat kepalanya yang terkulai di sana. "Lusa aku harus lanjut tour," bisiknya. "Aku cuma mau ngabisin waktuku sama kamu lebih banyak."
"Kita bisa ngelakuin itu setelah kamu selesai tour."
"Aku selesai tour masih tiga bulan lagi." Barra mengeratkan pelukannya. "Kalau aku kangen gimana?"
"Kan bisa video call?" aku tersenyum. "Atau sekali-kali, kalau ada waktu, aku nyusulin kamu. Gimana?"
Sontak Barra menarik badannya. Menatapku antusias. "Beneran?"
Aku mengangguk. "Nanti aku cek dulu schedule-ku buat liat kapan aku bisa nyusulin kamu." Senyuman Barra makin lebar. "Tapi nggak dalam waktu dekat ini ya."
"Kamu bisa datang ke konserku yang di Bangkok. Biar sekalian nanti kita ke Ko Samui. Kamu kan pengin banget ke sana."
"Bukannya jadwal kamu padat banget. Memangnya sempat mau ke Ko Samui?"
Barra mengibaskan tangannya. "Bisa diatur. Yang penting kamu mau, kan?"
Aku merapatkan bibir. "Aku usahain ya."
Mendengar itu saja Barra sudah memekik girang. Menarikku lagi ke dalam pelukannya. Hanya saja kali ini lebih erat sembari ia menggoyangkan badanku ke kanan dan ke kiri. "Tetap sama aku ya, Nau. Aku janji nggak akan bikin kamu marah atau sedih lagi. Please, tetap sama aku. Kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomanceLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...