BARRA
Penutupan konser berakhir dengan sangat baik. Hal ini bukan hanya membuat gue puas, tapi juga lega. Melakukan tour ASIA bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain gue harus terbang dari kota ke kota lainnya dan negara lain ke negara lainnya. Gue juga harus bernyanyi puluhan lagu dengan beberapa lagu yang ada dance-nya. Well, buat gue yang bukan dancer, menari adalah sesuatu yang cukup sulit. Latihan yang intens kadang bikin gue frustasi karena ternyata gue sangat kaku dalam menari.Belum lagi schedule yang padat serta dibarengi dengan masalah yang sedang gue alami mungkin bikin gue jadi ngedrop kemarin. Biasanya gue selalu menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh saat konser. Tapi kemarin yang bermasalah adalah pikiran gue–yang berdampak pada kesehatan fisik.
Bohong banget kalau gue bilang gue nggak khawatir. Saat gue tinggal selangkah lagi mendapatkan Naura, justru gue harus terjebak dalam jadwal mencekik dan mengenyampingkan Naura dulu.
You know, Naura selalu menjadi prioritas buat gue. Namun gue nggak bisa melakukan sesuatu yang merugikan banyak orang. Sebesar apapun gue ingin lari dari schedule konser dan pulang ke Jakarta meminta restu secara langsung pada orang tua Naura—dan membuktikan diri kalau gue cukup pantas untuk bersama putrinya—ada banyak orang yang bakal gue rugikan oleh tindakan egois gue. Dan gue yakin seratus persen, Naura nggak akan menyukai apa yang gue lakukan.
"Langsung pesenin gue tiket balik ke Jakarta ya, Sya," ucap gue pada Resya sehabis berganti baju.
"Lo nggak mau ikut party dulu?" tanya Resya mengikuti gue berkemas-kemas. "Masa lo nggak ada sih, Bar? Nggak enak lah sama staff-staff yang lain."
"Gue bakal nongol bentar doang terus langsung ke bandara. Kalau lo mau tetap di sini, nggak apa-apa. Gue pulang sendiri aja." Gue menyandang tas lalu menegakkan badan. "Dikasih libur kan sama Baskara? Lo bisa ke Langkawi atau kemanapun yang lo suka. Gue bisa ngurus diri sendiri nanti di Jakarta."
"Kenapa buru-buru sih? Lagian kondisi lo kan belum puluh betul, Bar. Mending lo istirahat, habis itu baru balik ke Jakarta."
"Lo jelas tahu kenapa gue buru-buru pengin pulang." Gue berdecak. Mulai nggak sabar. "Hape gue mana? Biar gue pesan tiket sendiri."
Resya diam. Gesturnya yang gelisah tentu aja bikin gue memandangnya penuh rasa curiga.
"Lo sembunyiin sesuatu dari gue ya?"
"Barra," Resya menggigit bibirnya. Tangannya bertaut dengan mata yang tidak berani menatap gue–jelas sesuatu telah terjadi di belakang. "Sebenarnya, Pak Bas bilang elo jangan balik ke Jakarta dulu."
"Kenapa?" gue menyambar cepat. Makin curiga.
"Eung ... sebenarnya. Aduh! Lo jangan marahin gue ya tapi? Ini buat kebaikan elo kok."
"Tell me, ada apa Sya?" Gue masih mencoba bersabar meskipun sikap bertele-tele Resya cukup memancing emosi. "Jangan bikin kesabaran gue habis. Lo tahu gue orangnya nggak cukup sabar."
Gue mendengar Resya membuang napas cukup keras. Seolah-olah apa yang hendak ia katakan adalah sesuatu yang sangat besar dan rahasia. "Barra, sebelum gue mau minta maaf sama lo. Gue tahu lo akan marah karena gue sembunyiin ini dari elo. Tapi sebagai manajer, gue harus memprioritaskan elo dan pekerjaan lo. Jadi—"
"Sya," gue mendesah. Memijat kening. "Nggak usah bertele-tele. Make it fast."
Resya kembali menarik napas panjang lalu berkata, "Foto lo sama Naura yang liburan ke Ko Samui kesebar. Di foto itu, kalian berdua kelihatan mesra banget. Dan wajah Naura paling kelihatan jelas."
Seketika jantung gue berdetak sangat kencang. Gue sudah terjun dalam bidang ini lebih dari sepuluh tahun untuk mengetahui gimana cara media membuat berita yang menarik untuk dibaca. Sembilan puluh sembilan persen adalah dengan cara memberikan headline menggunakan kalimat negatif yang akan memicu berbagai praduga dan opini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
Roman d'amourLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...