trente trois

4.5K 312 3
                                    

BARRA

Luka gue memang nggak terlalu parah. Namun tetap aja gue butuh bedrest. Untungnya setelah konser di Balikpapan, schedule gue kosong selama empat hari sebelum akhirnya nanti lanjut tour ke Makassar. Gue penginnya kondisi gue sekarang jadi rahasia aja biar nggak perlu ada kegemparan di media sosial. Tapi entah gimana, berita gue yang kecelakaan sudah masuk berita.

Akibatnya tim PR di kantor harus kerja lembur hari ini. Mbak Desinta baru aja mengabari gue—katanya bocornya kondisi gue bersumber dari staff rumah sakit. Sekarang masih diselediki staff mana yang nyabarin—tapi gue nggak terlalu peduli siapa yang ngebocorin, tapi gara-gara itu—putusnya hubungan gue dan Razalea batal dirilis.

"Aku udah telpon Mas Naren. Katanya yang bocorin perawat yang nganterin sarapan buat kamu." Naura mendatangi gue usai menelpon Mas Naren. Duduk di sisi kosong tempat tidur sembari memasang ekspresi menyesal. "Maaf ya. Seharusnya kami bisa lebih ketat lagi milih staff."

Gue menoleh. Membuang napas berat. "Udah kejadian juga. It's okay."

"Terus kenapa kamu masih bete gini?" tanyanya Naura. Memperhatikan gue lamat-lamat.

Gue menatap Naura tanpa menutupi kekecewaan yang gue rasakan. Jelas bukan padanya. "Aku nggak jadi putus sama Lea."

Kening Naura mengerut.

"Kalau hubungan kami berakhir di kondisi aku begini, image Lea bakal jelek." Jelas gue kemudian mendesah kecewa. "Manajemen Lea minta buat ditunda."

"Memang kenapa kalau kamu masih pacaran sama Lea di depan publik?" Naura menyahut santai. "Bukannya karena berita itu, kalian berdua jadi lebih dikenal ya?"

"Seriously?" gue menatap Naura nggak percaya. "Kamu nggak keberatan orang-orang nyangka aku pacaran sama Lea?"

Naura mengangguk. "Razalea kayaknya baik. Beda sama mantan-mantan fwb kamu dulu. Besides, kamu juga nggak kena gosip miring belakangan ini, kan?"

Gue tercengang sampai nggak bisa ngomong apa-apa untuk beberapa saat. "Naura, kamu serius nggak sih mau nerima aku?"

"Kok kamu nanya gitu?"

Ini pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu gue jawab karena jawabannnya sudah sangat jelas. Entah apa yang Naura pikirkan sampai dia santai aja gimmick antara gue dan Lea terus berlanjut—yang nggak gue tahu sampai kapan—padahal ini dampaknya ke hubungan kami yang sebentar lagi akan menemui titik terang.

"Lupain aja kalau kamu nggak ngerti." Gue makin bete. Merebahkan badan di tempat tidur gue karena siang tadi gue sudah keluar dari rumah sakit. Seperti janji Naura—well, lebih tepatnya keinginan gue sih, Naura bakal merawat gue sampai gue ke Makkasar. Resya memang sudah balik dari Balikpapan. Tapi gue menyuruh dia buat istirahat aja biar nggak ganggu gue sama Naura.

"Barra, ngambek?" tanya Naura. Kapalanya melongo mencoba mengintip gue yang memungginya.

"Nggak."

"Terus kenapa kayak gini?"

"Kayak gini apa?"

"Mungguin aku," jawabnya. "Kalau kamu nggak suka aku di sini bilang aja. Aku bisa balik ke apartemenku."

Good. Naura tahu gimana caranya bikin gue kembali menghamba padanya. Gue merubah posisi menjadi terlentang. Menatap Naura yang juga menatap gue.

"Jadi, kenapa?" Naura bertanya dengan suara lunak. "Aku ngomong gitu karena situasinya lagi nggak kondusif buat kamu putus sama Razalea. Selain itu, bukannya selama kalian pacaran di depan publik, nggak ada lagi gosip aneh soal kamu yang berhubungan sama cewek. Iya, kan?"

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang