six

6.5K 523 28
                                    

NAURA

"I miss Paris," ungkapku setelah selesai menonton serial Emily in Paris.

"You're not going back there,"

Aku mendelik. Menatap Barra sebal.

Right. Barra membuktikan ucapannya soal cowok itu yang akan tinggal ditempatku sampai kakiku sembuh. Dia hanya pulang ke tempatnya untuk mandi dan mengganti baju. Setelahnya Barra kembali lagi sambil membawa gitarnya. Nggak banyak kegiatan yang kami lakukan bareng. Sebab Barra sibuk dengan pekerjaannya, begitu pun denganku. Seharian ini cowok itu nongkrong di balkon—make music thing—sementara aku di ruang kerjaku, mencoret-coret buku sket.

"I can go back there whenever I want," delikku nggak suka.

"Like your family allows it," ejeknya seraya mendekatkan kaleng softdrink ke mulutnya.

Aku menipisnya bibir. Menahan kesal. "You know what, I hate you."

Barra terkekeh. Menolehkan kepalanya dan menatapku jenaka. "I know,"

"Oh, you know. Dan kamu sepertinya nggak masalah menghabiskan waktu dengan orang yang benci kamu."

"Yeah, because I know that person doesn't completely hate. Doesn't you?"

Sialan. Kenapa dia selalu berhasil bikin aku nggak bisa berkutik sih? Aku berdeham, melipat tangan di depan dada. "Aku haus."

Barra menyodorkan minumannya.

"Aku mau air putih."

Barra menarik napas. Agak ogoh-ogohan untuk bangkit berdiri dan mengambil botol air minum di dalam kulkas. Aku menahan senyum. Kapan lagi bisa memerintahnya, kan?

"Here's your drink, Tuan Putri," katanya setelah membuka tutup botol air minum untukku.

"Thanks," balasku dan meneggaknya cepat karena sejak tadi aku memang kehausan.

Barra meraih remote televisi dan mencari film lain untuk ditonton. Pilihannya jatuh kepada Avangers: Endgame. Sebab cowok itu tadi sudah mengalah dan membiarkanku menyelesaikan Emily in Paris yang baru kutonton lima episode untuk season pertama. Kali ini kubiarkan Barra menonton film favoritnya. Meski aku yakin di tengah jalan aku bakal ketiduran.

"Anyway, kamu sama Jevan," Barra tiba-tiba bersuara ketika film di mulai. "Udah sedekat apa?"

Keningku mengerut. Tumben banget Barra bring up this topic dengan cara beradab. I mean, biasanya dia langsung marah-marah nggak jelas. Bilang aku harus hati-hati lah, cowoknya brengsek lah, dan bla-bla. Kepalaku sampai panas bila Barra sudah dalam mode emosinya.

"Not that close. Kami cuma sering makan siang bareng. Itu pun karena kantornya dekatan sama butikku." Aku lalu menatap Barra dengan mata yang disipitkan. "Kamu ada rencana apa sih?"

"What?" Barra balas menatapku.

"I know you, Bar. Sikap kamu ini bukan kayak kamu biasanya."

"Nau, I don't that jerk." Barra nampak sedikit tersinggung. "And you know, aku ngelakuin itu bacause I care about you."

Aku mengangguk. "Okay, I'm sorry. Just...kamu nggak bersikap kayak biasanya."

"Keelan bilang he's nice guy. Aku juga udah cari tahu, dan nggak ada catatan hitam tentang dia. So..."

"So...kamu setuju kalau aku sama Jevan?"

"I don't say that," bantahnya cepat.

Aku memutar bola mata. "So?"

"So...maybe...you can still hangout with him?"

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang