vingt cinq

4.5K 334 16
                                        

NAURA

Kepulangan Naufal nyatanya tak membuat hubungan kami membaik. Bahkan kami bertengkar sebelum keberangkatannya ke Amerika.

Naufal yang seharusnya masih stay di Jakarta sampai bulan depan tiba-tiba memutuskan untuk kembali lebih cepat. Padahal masih banyak hal yang ingin kulakukan dengannya. Waktu dua minggu sama sekali tak cukup mengobati rasa rinduku selama setahun ini.

"Naura, aku juga masih kangen sama kamu. Masih mau menghabiskan waktu sama kamu. Tapi projekku di sana lagi ada masalah. Mana mungkin aku bisa senang-senang di sini sementara teman-temanku di sana lagi kesusahan?" Naufal berusaha meminta pengertian dariku sembari memegang kedua bahuku.

Aku tidak mengerti projek apa yang Naufal maksud. Dia memang luar biasa pintar dan punya banyak ide-ide cemerlang—yang pasti, apapun sedang ia kerjakan di sana, nggak membuat kekecewaanku padanya mereda. Meskipun dia ada dihadapanku, aku tetap merindukkanya. Merindukkan sosoknya yang dulu.

Di detik itu aku menyadari, kalau Naufal telah berubah. Dunia yang kami jalani berbeda. Aku masih dengan dunia anak SMA-ku yang penuh gejolak. Sementara Naufal sedang di tahap mengejar mimpi-mimpinya. Aku bukan lagi prioritasnya.

Melihatku yang menangis membuat Naufal menarik napas kemudian menenggelamkan tubuhku ke dalam pelukkanya. "I'm sorry. Setahun lagi, kita ketemu lagi, kan? Saat kamu udah lulus nanti, dan kita tinggal di kota yang sama. Aku janji kita bakal ketemu setiap hari. Kemanapun kamu minta ditemenin, aku pasti temenin."

Mengingat lagi keinginan kami berdua memberiku sedikit kekuatan untuk tetap bertahan dalam hubungan ini. Setiap hubungan butuh diperjuangkan, kan?

Kupikir begitu.

Tapi lama kelamaan aku malah lelah sendiri sampai di tahap tidak lagi peduli jika telponku nggak diangkat oleh Naufal atau cowok itu lama memberi balasan. Perasaanku pada Naufal juga tidak semenggebu-gebu dulu. Ketika dia akhirnya menelponku, meminta maaf—aku nggak merasa kecewa atau sedih. Aku tetap bisa tersenyum dan menanyakan kabarnya dengan tulus.

Seharusnya hal ini bagus. Aku tidak lagi menangis tengah malam karena merindukkan Naufal.

Hanya saja, yang jadi masalahnya, aku malah lebih memikirkan cowok lain daripada pacarku sendiri.

Barra.

Aku tidak bisa berhenti memikirannya setelah kejadian pelukkan itu. Reaksi tubuhku juga berbeda setiap kali cowok itu ada di dekatku. Aku ingin menghindarinya karena merasa aneh dengan perasaanku. Tapi di satu sisi, aku tidak bisa membohongi diri jika aku ingin bertemu dengannya.

Sebab itu, ketika tiba-tiba mendapatkan SMS dari Barra yang mengatakan kalau cowok itu sudah ada di depan sekolah—senyumku langsung merekah lebar. Sudah dua minggu aku sengaja tidak pernah datang ke apartemen agar bisa menenangkan diri. Hari ini, aku nggak bisa lagi menahannya.

"Siapa yang SMS? Naufal?" tanya Ela sambil melongokkan kepalanya mengintip ponselku.

Buru-buru kusimpan ponsel ke saku rok. "Gue kayaknya nggak bisa ikut nongkrong deh."

"Lho? Kenapa?"

"Mau pergi sama Barra."

"Jadi yang SMS lo Barra?" aku bisa merasakan nada sinis dari suara Ela. Tatapan curiganya membuatku menelan ludah gugup. "Naura, lo sama Barra nggak ada apa-apa, kan?"

"Maksud lo?" sambarku cepat.

Ela menghela napas. Menarik kursi dan kembali duduk di sebelahku. "Barra itu sahabatnya pacar lo."

Pernyataan Ela menghantam kepalaku kencang.

"Gue nggak mau lo main api, Nau." Timpal Ela lagi. "Ujungnya nggak akan baik. Lo bakal kebakar."

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang