NAURA
Sebetulnya aku sudah mempersiapkan diri apabila rencanaku tak berjalan seperti yang kuinginkan. You know, terkadang ada hal-hal yang tidak bisa kukendalikan. Aku belajar untuk tidak menaruh ekspektasi yang tinggi pada siapapun atau keadaan yang sifatnya dinamis. Terapi dan konsultasi yang kulakukan sedikit banyaknya membuat tidak lagi gampang panik atau cemas ketika keadaan tidak sesui dengan yang kumau. Hal-hal yang begini sudah kupikirkan—meskipun aku sangat tidak berharap akan berada di situasi ini.
Sampai apartemen yang kulakukan adalah mandi, memakai piyama ternyamanku, lalu bersiap untuk tidur. Tidak ada gunanya aku mengecek sosial media sekarang karena isinya pasti bukan sesuatu yang ingin kubaca. Sejak tadi ponselku sudah berdering oleh banyak panggilan. Tapi tak ada satupun yang kuangkat karena aku sedang ingin bersama diriku sendiri.
Hanya saja, ketika aku akan mematikan ponselku—nama Resya muncul di layarnya. Aku menggigit bibir ragu-ragu. Dugaanku mungkin Resya sudah melihat berita tersebut. Tapi aku nggak bisa menebak apakah dia sudah memberitahu Barra atau belum. Penasaran akan hal itu, setelah beberapa saat, akhirnya kuputuskan untuk mengangkat panggilan yang satu ini.
"Mbak, are you okay?" Resya langsung bertanya dengan panik. "Gue baru liat beritanya. Astaga! Kok bisa ada yang fotoin kalian sih? Padahal kan kita udah hati-hati banget, Mbak. Gue juga udah pastiin di sana aman."
Barra benar. Saat panik, suara Resya memang bikin kepala pusing. "Barra ... udah tahu?" inilah alasanku mengangkat panggilan Resya. Aku ingin memastikan Barra sudah mengetahuinya atau belum.
"Belum, Mbak." Spontan aku menghela napas lega. "Dia baru aja selesai konser. Terus sekarang lagi di rumah sakit mau diinf—"
"Barra di rumah sakit?" sontak aku langsung bangkit bangun. Jantungku berdebar khawatir. "Kenapa? Kok bisa sih? Dia baik-baik aja, kan?"
Aku bisa mendengar suara ringisan Resya. "Duh, Mbak. Gue keceplosan. Barra udah bilang buat nggak ngasih tahu Mbak Naura."
"Sekarang kan gue udah tahu." Aku menyugar rambut ke belakang gelisah. "Please ... kasih tahu gue. Barra kenapa, terus sekarang dia gimana?"
"Barra tadi hampir pingsan Mbak di panggung. Terus sempat kita kasih oksigen juga di backstage." Dadaku berdenyut ngilu mendengarnya. Barra selalu menjaga kesehatannya saat konser. Cowok itu paling tidak ingin memberi penampilan buruk untuk fansnya yang sudah menonton. Mengetahui dia hampir pingsan membuatku tidak bisa untuk tidak khawatir. Artinya Barra benar-benar tidak dalam kondisi yang baik-baik aja sampai akhirnya begitu. "Tapi sekarang Barra udah baik-baik aja kok, Mbak. Mbak Naura nggak usah khawatir. Justru gue sekarang lagi panik karena elo, Mbak. Are you okay, Mbak? Gue udah baca komen-komen netizen. Mereka kok bisa kasar gitu padahal belum tahu gimana kebenarannya. Kesel banget gue, Mbak! Pengen sumpalin cabe ke mulut mereka!"
Oh, right. Resya pasti sudah melihat beritanya. "Jangan sampai Barra tahu," bisikku. "Pokoknya lo pastiin dia nggak main sosmed dan nggak ada yang ngasih tahu soal ini sama dia."
"Tapi lo sekarang gimana, Mbak? Lo baik-baik aja, kan?"
"I'm fine." Aku tersenyum kecut. Ya, mungkin nama gue beberapa hari ini bakal sering banget muncul di infotaiment sama sosmed. But, yeah, I will be fine."
"Gue bakal ngomong sama Pak Bas biar berita ini makin nggak kesebar yang aneh-aneh. Gue langsung telpon lo waktu baca beritanya."
Aku mengangguk. "Yang penting lo sekarang pastiin Barra baik-baik aja ya, Sya. Dia itu paling susah di suruh makan. Tapi kalaupun dia nggak mau, lo paksa. Jangan biarin perut dia kosong."
![](https://img.wattpad.com/cover/300824408-288-k661273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
Roman d'amourLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...