NAURA
Aku terkikik geli. Menangkup wajah Barra yang kini bersembunyi di lekuk leherku. Memberi kecupan-kecupan ringan yang bukan hanya menghantar sensasi kupu-kupu yang bertebrangan di dalam perut. Tapi juga membuatku kesulitan menahan sensasi menggelitik di tubuhku ketika tangannya juga ikut menggerayangi pinggangku.
"Barra, stop."
Tapi Barra tidak mendengarkanku, usapannya di pinggangku perlahan-lahan mulai turun ke bawah menuju pahaku yang memiliki potongan yang terbelah cukup tinggi sehingga memudahkannya menyentuh kulitku secara langsung. Telapak tangannya yang kasar mengusap ringan lalu menyelinap semakin dalam sampai kurasakan jemarinya hampir menyentuh pangkal pahaku.
"Kamu bakal dicincang Papa kalau tahu apa yang kamu lakuin sekarang ke anaknya," bisikku.
Seketika Barra langsung menarik tangan dan wajahnya. Memandangku sebentar lalu mendengus. "Bisa-bisa kamu nyebut nama Papa kamu di saat begini,"
Aku tersenyum kecil. Membenarkan gaunku yang tersikap. "You know, banyak hal yang harus kita bicarain," ucapku penuh arti yang membuat Barra menoleh lalu memandangku lama.
Cowok itu menghela napas sambil mengangguk singkat. "Mau minum apa?" tanyanya seraya bangkit berdiri.
"Seharusnya kamu nanya itu lima belas menit yang lalu." Sindirku karena begitu sampai apartemennya yang dilakukan Barra adalah mencium bibirku dan menyeretku menuju sofa. Menumpahkan rasa rindunya yang sepertinya tumpah ruah.
"Lima belas menit ada hal yang lebih emergency yang mau aku lakuin sama kamu," kerlingnya.
Aku mendengus. Menyandarkan badan di sofa sembari mengitari pandangan pada apartemen Barra yang sudah lama tak kudatangi. Mendapati ada perubahan pada wallpaper di bagian dinding belakang TV.
"Aku kemarin habis ganti wallpaper dinding," Barra berkata sembari mengambil tempat di sebelahku. Sebelum menyerahkan kaleng soda, cowok itu membukakannya terlebih dahulu. "Gimana? Kamu suka nggak?"
"Kenapa nanya aku?" aku mengerutkan kening. Mengambil kaleng soda dari tangannya. "Ini kan apartemen kan apartemen kamu."
"Kamu kan pernah komentar kalau wallpaper yang aku pakai terlalu norak." Balasnya."Besides, aku pengin kamu makin nyaman di tempatku."
Aku tersenyum. "Dimana aja, asal sama kamu, aku bakal nyaman kok." Lalu menempelkan bibirku pada menyeruput soda di kaleng.
Barra mengerjapkan mata. "Wow. Dua bulan lebih nggak ketemu, kamu udah pintar gombalnya." Cowok itu mencubit gemas pipiku lalu menggantikannya dengan usapan lembut. "Senang banget bisa ketemu kamu hari ini." Matanya menatap begitu lembut. Aku dibuat meleleh olehnya.
"Me too," akuku jujur. "Aku nggak ngerti kenapa orang tuaku sampai nggak bolehin kita ketemu selama ini."
"Mungkin buat lihat keseriusan aku." Hening sejenak yang diikuti tatapan Barra kemudian berubah sendu. "I'm sorry,"
"For what?"
"Bikin kamu jadi omongan orang." Barra menghela napas berat. "Seharusnya aku nggak maksa kamu buat ke Ko Samui."
"Kamu nyesel?"
"Aku nyesel bikin kamu harus mengalami situasi nggak menyenangkan itu, Naura." Barra menggeser duduk lebih dekat denganku. "Kenapa nggak bilang, hm? Kalau aku tahu lebih cepat aku nggak bakal biarin kamu dituduh sembarangan gitu."
"Kalau aku bilang, kamu berkemungkinan batalin konser kamu." Sergahku. Menangkup punggung tangan Barra yang berada di pipiku. "I'm fine. Aku udah tahu resikonya. Aku juga belajar buat nggak mendengarkan kata-kata orang lain. Omongan mereka nggak seberpengaruh itu buat aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love
RomansLavanya Naura Sastrawijaya dan Alfarezi Barra Salim terlibat hubungan rumit. Mereka telah mengenal satu sama lain sejak kecil. Akan tetapi baru benar-benar dekat setelah Naufal menjadi jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Ketiganya bersahabat...