quarante

3.5K 278 5
                                    

NAURA

Berdiam di dalam kamar tanpa bisa melakukan apapun jelas membuatku frustasi. Mama masih bersikeras ingin menjadikanku Rapunzel dadakan entah sampai kapan.

"Come on, Mam. Aku nggak bisa ninggalin butikku lama-lama." Kataku yang kembali berusaha membujuk Mama. "At least, kembaliin hapeku. Aku bukan remaja lagi yang Mama hukum kayak ini. It's been three day!"

"Baru tiga hari." Mama menyahut kalem. Menggunting ujung tangkai mawar lantas ia masukkan ke dalam vas bening. "Siapa suruh liburan diam-diam? Kualat kan akhirnya."

Aku berdecak. Menyandarkan punggung sembari mengangkat tanganku menghalau cahaya matahari pagi yang bersinar di bawah kami. "Barra pasti khawatir banget sama aku."

"Kamu itu seharusnya khawatirin diri kamu sendiri. Bukan Barra." Tukas Mama sambil geleng-geleng kepala. "Dari semua sifat Mama kenapa kamu harus nurunin kebucinan Mama sih?"

Aku mengulum bibir. "Nah, seharusnya Mama bisa relate dong sama perasaanku sekarang. Please, Mam. Sebentaaaaar aja. Aku cuma mau ngabarin Barra kalau aku baik-baik aja."

"No." Mama menggeleng tegas. "Kamu sama Barra harus Mama pisahin."

"Kami bukan Romeo Juliet, Mam." Aku membuang napas gusar. "Alasan Barra dari keluarga Salim kurang kuat buat menentang hubungan kami. Barra nggak pernah terlibat dalam urusan bisnis keluarga. Jadi, nggak ada yang perlu Mama khawatirin soal itu. Terus apa lagi? Reputasi Barra? Fine. Memang banyak berita miring soal dia yang suka gonta-ganti pasangan. Tapi kan nggak semua yang diomongin di media benar. Aku mengenal Barra udah lama, Mama. Dia nggak seburuk itu kok. Setidaknya Mama coba kasih kesempatan Barra buat buktiin dirinya."

"Mama nggak mau komentar." Sahutnya acuh. Bangkit dari tempatnya sembari mengangkat vas bunga yang sudah ia rakit sendiri. "Kamu bakal bela Barra apapun yang terjadi, kan?"

Aku mendesah. Memandang punggung Mama yang masuk ke dalam rumah meninggalkanku duduk sendiri di taman belakang rumah kami.

Mama bukan tipe orang gampang dibujuk. Jika sudah memutuskan sesuatu, Mama tidak pernah menarik lagi kata-katanya. Tapi aku tidak akan menyerah. Jika Mama tetap keras kepala menahanku agar tidak bertemu dengan Barra. Maka aku juga bisa begitu. Kuiikuti Mama yang sudah masuk ke dalam menuju ruang makan. Menata bunga-bunga yang sudah ia rangkai di atas meja dan juga beberapa spot menghadap jendela.

Kusandarkan badan di kitchen island, memperhatikan Mama yang sibuk dengan kegiatannya tanpa mempedulikanku.

"Mama ingat waktu Pak Tirta nggak bisa jemput aku ke tempat les karena ada kecelakaan beruntun? Waktu itu aku nunggu dua jam karena nggak ada satupun taksi yang lewat. Di tengah hujan lebat. Di hari yang makin malam. Mama waktu itu lagi di SG, Papa lagi operasi, sedangkan Mas Naren—aku nggak mau ganggu dia yang sibuk belajar buat tesnya besok. Satu-satunya orang yang ada dipikiranku waktu itu ... Barra. Aku hubungin dia dan bilang aku sendirian. You know what, Mam, dia langsung datang nyamperin aku. Padahal aku nggak minta dia datang dan cuma pengin ngobrol biar nggak bosan nunggu. Tapi Barra rela nembus hujan cuma bermodal mantel—karena dia nggak mau aku sendirian."

Mama bergeming tapi aku tahu beliau mendengarkan.

"Kalau ada orang yang harus aku tunjuk di luar keluargaku, yang aku percaya nggak pernah nyakitin aku. Orang itu pasti Barra." Ucapku yakin. "So, please, kasih kesempatan buat kami. Setelah Mama kenal Barra dan merasa dia masih nggak baik buat aku. Fine. Aku bakal turutin semua kata-kata Mama. Aku nggak akan sama Barra."

"Sweety," Mama berbalik menghadapku. "Mama bukan nggak setuju kamu sama Barra karena merasa dia nggak baik buat kamu. Mama tahu Barra peduli sama kamu, I can see that. Yang Mama khawatirin adalah gimana kehidupan kamu saat bereng dia nanti. Ini bukan cuma soal dia dari keluarga Salim. Melainkan juga pekerjaan dia, lingkungan dia. Kamu sudah siap kalau privasi kamu direnggut? Muncul di media sosial dengan berita-berita yang nggak benar? Look what has happened, kamu siap menghadapi situasi ini lagi?"

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang