quarante huit

3K 211 18
                                    

NAURA

"Mama nggak nyangka kamu seliar itu, Naura."

"Ma, come on," desahku. Tatapan Mama yang begitu judging membuatku merasa seperti pendosa. Well, yang kulakukan dengan Barra memang perbuatan dosa. Tapi haruskah kami sampai disidang di rumah seperti ini? For God's sake! Umurku sudah dua puluh delapan tahun, dan sebentar lagi akan masuk dua sembilan. Aku bukan anak SMP yang ketahuan make out dengan pacarnya hingga harus diperlakukan begini.

"Jam berapa Barra datang?" tanya Mama yang tak mengubah tatapan judging-nya. Mengabaikan keluhanku.

So, setelah Mama melihatku make out dengan Barra. Tentu saja kami berdua langsung dipelototi. Barra hendak menjelaskan apa yang terjadi, tapi karena aku tahu Mama orangnya 'heboh', kutarik tangan Mama dan memintanya untuk pulang. Mama tentu saja keberatan dan mendesak menjelaskan apa yang terjadi. "Aku memang lembur, Ma. Malam ini kami ada janji dinner, tapi karena aku lembur, Barra datang ke sini biar kami masih bisa dinner bareng."

"Dinner apa sampai pangku-pangkuan gitu?! Kamu juga! Agresif banget!" Mama mencubit lenganku gemas. "Kenapa duduk di paha Barra gitu?"

Bola mataku memutar. Masa aku harus jelaskan kenapa aku duduk di paha pacarku sih?

"Mama pulang aja deh. Aku masih banyak kerjaan."

"Mama pulang terus kamu ngelanjutin lagi aktivitas kamu sama Barra? Gitu?"

"Astaga, Mama. Naura udah dewasa. Memangnya Naura harus jelasin juga kenapa kami ciuman sama Mama?" Aku menghela napas. "Barra habis ini pulang kok. Aku udah bilang gitu sama dia."

Setelah Mama pulang. Aku pun meminta Barra juga pulang. Dia tentu kebaratan tidak mendapatkan kesempatan menjelaskan yang terjadi pada Mama. Tapi aku mengenal Mamaku dan menjelaskannya sekarang hanya akan menimbulkan banyak perdebatan sementara aku harus fokus menyelesaikan pekerjaanku yang dikejar deadline.

Memahami itu, Barra akhirnya mengalah dan berpamitan pulang.

Besok paginya. Mama menelpon dan memintaku datang ke rumah, sebab Barra juga akan datang. Ternyata Mama menghubungi Barra di belakangku. Mama ingin menyidang kami berdua. Seperti yang biasa keluargaku lakukan jika ada masalah terjadi.

Tapi ... masa aku disidang karena ciuman sama pacarku sih?

Bisa dimengerti kalau aku masih remaja. Tapi aku kan wanita dewasa.

"Kan Mama sendiri yang minta dia datang? Jam berapa Mama nyuruh dia datang?" aku menyahut agak bete.

"Mama bilang jam tiga." Mama memandangku. "Kamu kenapa siang-siang udah di sini. Mama kan bilang ke kamu jam tiga juga datangnya?"

"Ya, Mama ngapain sih pakai sidang kami berdua segala?" Aku menatap Mama dengan bibir mencebik. Sengaja aku datang lebih dulu karena kelewat takut Mama bicara macam-macam pada Barra. "Mama berharap apa sih dari dua orang yang udah dewasa pacaran?"

"Mama mau minta pertanggungjawaban lah dari Barra. Kamu itu anak perempuan Mama. Nanti kalau kamu punya anak perempuan, kamu pasti paham gimana was-wasnya Mama."

"Tapi Mama nggak bisa nyalahin Barra sepenuhnya dong. Barra kan nggak maksa aku. Kami ngelakuinnya karena sama-sama mau. Barra mau tanggung jawab apa coba? Lagian aku nggak hamil kok."

"Ini anak, malah belain pacarnya." Mama mendelik. "Kamu itu udah bucin banget ya sama Barra?"

Aku menghela napas. Tentunya aku mengerti kekhawatiran Mama. Tapi menyalahkan Barra atas perbuatan yang kami lakukan berdua menurutku nggak adil buat Barra. Dan kami itu kepergok ciuman. Bukan having sex. Jika Mama mencidukku tidur dengan Barra, aku masih mengerti. Tapi ini ...

Bittersweet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang