BAB 2

36.2K 807 12
                                    

Tessa mengusap pipinya yang masih berdenyut perih. Rasa sakitnya menembus tulang, namun ia hanya ingin segera tiba di apartemennya—tempat satu-satunya yang bisa memberinya sedikit kelegaan. Ia butuh es batu, sesuatu yang dingin untuk mematikan rasa terbakar di wajahnya. Semoga saja, tamparan itu tidak meninggalkan jejak kebiruan yang mencolok—jejak yang akan terus mengingatkannya bahwa kejadian memalukan yang sempat merusak kesabarannya.

Tapi ini bukan hal baru.

Bagi Tessa, rasa sakit adalah bagian dari hidupnya. Ia telah terlalu akrab dengan perih, dengan penghinaan yang dibungkus senyuman palsu. Dalam dunia yang ia jalani, tubuh dan senyum adalah komoditas. Bahkan pelacur pun harus bisa berpura-pura puas hanya demi kepuasan orang lain.

Sampai kapan hidup seperti ini akan terus menelannya?

Ia tak tahu. Tak pernah tahu.

Di usianya sekarang, seharusnya ia bisa tertawa bebas di kafe sambil menggenggam tangan kekasih, seperti wanita lain yang hidupnya tak diwarnai luka. Tapi untuk Tessa, semua itu hanyalah bayangan di balik kaca—terlihat, namun tak tersentuh.

Taksi berhenti perlahan di depan apartemen kecilnya, dan dunia kembali nyata.

Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet, menyerahkannya dengan tangan gemetar pada sopir. Tanpa alas kaki, ia turun dari mobil. Sepatu hak tinggi yang tadi membelenggu kakinya kini hanya tergenggam lemas di tangan. Kakinya menyentuh rerumputan malam yang lembut—sehalus harapan yang nyaris mati.

Ia memejamkan mata.

Andai saja ia dilahirkan dari rahim wanita kaya, yang membesarkannya dengan pelukan dan dongeng sebelum tidur. Ia mungkin tak akan berada di sini, menyeret tubuh yang penuh luka. Ia mungkin sedang memeluk seseorang yang mencintainya, bukan kaleng soda dingin di tengah malam sepi.

"Bodoh! Kenapa aku terus membayangkan hal mustahil itu?" Tessa membuka matanya, lalu menepuk kepalanya sendiri dengan kesal.

Ia menekan kode digit di panel pintu. Bunyi mekanis menyahut. Pintu terbuka.

Langkah cepatnya menjejak masuk. Heels dilempar ke sudut ruangan. Tas disambar dan diletakkan sembarangan di kursi makan. Tak ada kemewahan di tempat ini, tapi setidaknya, dinding-dindingnya tidak menghakimi.

"Kau tak berhak mengeluh, Tessa," katanya pelan, namun tajam.

"Ini harga yang harus kau bayar."

Suara itu suara dirinya sendiri menjadi satu-satunya penyemangat. Ia menarik satu kaleng soda dari kulkas, menekannya pada pipi yang mulai memar. Dingin itu bukan hanya menyembuhkan, tetapi juga membungkam tangis yang nyaris meledak.

Setiap hari setelah hari melelahkan yang terjadi padanya akan ada satu kaleng bir untuk merayakannya. Ia meremas kaleng menjadi remuk dan melemparkannya ke dalam tong sampah, Satu hari. Hanya satu hari, ia ingin rehat. Ia ingin bebas menikmati semua hasil yang yang akan masuk ke dalam rekeningnya— Meskipun kebahagiaan itu hanya sesaat.

Ponselnya berbunyi notifikasi masuk sebuah pesan.

"Maafkan aku atas apa yang terjadi. Aku sudah mentransfer lebih dari kesepakatan. Gunakan uang itu untuk berobat."


Tessa mendengus, mencibir. Permintaan maaf? Tidak. Yang ia butuhkan bukan penyesalan, tapi angka yang bertambah di rekeningnya. Tangannya gemetar, tapi senyum muncul di wajahnya—senyum pahit yang tumbuh di atas puing-puing harga diri.

"Lihat... hanya uang yang bisa membuat orang bahagia."

Ia meneguk isi kaleng soda, seolah itu adalah penawar luka. Kepalanya lalu bersandar di meja. Malam mulai beranjak, jam mendekati pukul satu. Tapi Tessa telah tertidur—pulas dalam pelukan lelah dan dinginnya realita.

Di sisi lain, sebuah mobil sport berhenti perlahan di depan mansion yang berdiri megah, dibentengi pagar besi tinggi seolah ingin menolak dunia luar.

Dari dalam mobil keluar seorang pria. Tegap. Dingin. Sorot matanya abu-abu, setajam bilah es yang tak mengenal iba.

Axel Leonidas. Pewaris tunggal dinasti Leonidas.

Tanpa ekspresi, ia melangkah masuk ke dalam rumah, disambut barisan pelayan yang menunduk dalam diam. Tangannya melepas dasi, menariknya kasar seolah ingin melepaskan beban dunia.

Tangga besar menanti. Tapi suara lembut menghentikannya.

"Axel."

Axel menoleh mendengar suara panggilan Ibunya. Dara, berdiri di bawah cahaya temaram.

"Selamat malam, Mom."
Ia menuruni tangga lagi, mencium pipi ibunya dengan lembut.

"Hari yang melelahkan, sayang?" Dara membelai wajah anaknya. Meski Axel kini hampir tiga puluh, di matanya, pria itu tetap bayi mungil yang dulu ia peluk setiap malam.

"Tidak, Mom. Aku baik-baik saja." Axel mencium tangan ibunya, mencoba menenangkan hati wanita itu.

"Kalau Daddy terlalu membebanimu, katakan saja. Mommy bisa bicara dengannya, agar ia tak memaksamu sekeras ini."

Dara tahu. Ia bisa merasakannya. Leher putranya kaku, matanya lelah, dan senyumnya terlalu dipaksakan. Sudah tujuh bulan Axel memikul beban dua perusahaan sekaligus—dan Dara, sebagai ibu, merasakan luka yang tak terlihat di balik jas mahal anaknya.

"Aku menyukai pekerjaanku, Mom. Jangan khawatir."Axel tersenyum samar lalu menatap jam tangannya.

"Sekarang waktunya Mommy juga beristirahat. Sudah larut malam." Ia kembali menaiki tangga, meninggalkan sang ibu yang masih berdiri memandangi punggungnya.

Di balik senyuman Dara, tersimpan sesuatu yang tak mampu ia ucapkan. Ada satu rahasia, satu desas-desus yang terus menghantui pikirannya.

"Putraku… apakah benar kau seperti yang mereka katakan?"

Ia menggenggam dada, menolak percaya.

Tapi bisikan itu terlalu nyaring untuk diabaikan—bahwa darah dagingnya sendiri menyukai sesama jenis. Sebuah kabar yang begitu asing, namun menggerogoti keyakinan seorang ibu yang telah mengandung, membesarkan, dan mencintai tanpa batas.

Axel mendorong pintu kamarnya yang terbuka perlahan. Ruangan luas itu sepi, nyaris tak bernyawa. Hanya suara langkah sepatunya yang menggema di lantai marmer. Tanpa banyak basa-basi, ia melepas jas, melemparkannya ke atas sofa, dan membuka dua kancing teratas kemejanya yang mulai terasa menyesakkan.

Ia berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang mansion. Lampu-lampu taman bersinar temaram, dan air mancur di tengah kolam terus mengalir seperti biasa. Tapi semua itu tidak memberinya rasa tenang. Tidak malam ini.

Wajahnya terpantul jelas di kaca—rahang tegas, sorot mata tajam, dan ekspresi dingin yang tak pernah berubah. Begitulah semua orang mengenalnya. Tegas. Tidak bisa disentuh. Tidak pernah goyah.

Tapi Axel tahu, pria di balik pantulan itu menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang dunia pernah duga.

"Apa aku benar-benar menjalani hidupku… atau hanya peran yang dipaksakan?"

Ia menghela napas berat, lalu melangkah menuju minibar. Satu gerakan cekatan, ia membuka botol bourbon tua dan menuangkannya ke dalam gelas kristal. Cairan keemasan itu berputar pelan sebelum ia meneguknya dengan tenang. Tidak terburu-buru. Tapi juga tanpa ragu.

Di saku celananya, ponsel bergetar. Satu pesan masuk dari nomor yang sangat ia kenal—dan berharap tak akan muncul lagi.

“Kita perlu bicara. Ini penting.”


Mata Axel menyipit. Rahangnya mengencang. Ia menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya mematikan layar tanpa membalas. Tidak malam ini. Ia tak akan membiarkan masa lalu mengambil alih kendalinya lagi.

"Aku sudah terlalu jauh untuk mundur." gumamnya pelan, nyaris seperti ancaman kepada dirinya sendiri.

Ia kembali berdiri, memandang ke luar. Satu tangan menyentuh kaca, dingin terasa di ujung jarinya. Tapi Axel tak bergeming.

Dunia boleh menganggapnya sempurna. Tapi hanya ia yang tahu: di balik sikap dinginnya, ada rumor yang berhembus kencang mencoba merusak nama baiknya.

***

𝐍𝐀𝐔𝐆𝐇𝐓𝐘 𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓𝐀𝐑𝐘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang