"Ingin ikut aku ke suatu tempat."
Tessa akhirnya tau kemana Hardin akan membawanya. Senyum kecil muncul di permukaan wajahnya, sebuah Katedral berada di depannya. Tak ada yang bisa menduga Hardin akan membawanya ke sini.
"Sayang...apa kau tak ingin turun?" Tessa tersenyum lebar saat Hardin membukakan pintu mobil untuknya, tangan Hardin terulur untuk menyambut tangan Tessa.
Tessa tentu saja dengan senang hati melakukannya. Menggenggam erat tangan Hardin, rasanya semakin bahagia ketika kaki mereka melangkah satu demi satu anak tangga yang akan membawa mereka menuju pintu utama Katedral.
"Tunggu. Apa kita akan menikah hari ini?" Tessa menahan tangan Hardin saat mereka telah sampai di pintu utama.
"Tentu saja tidak... Aku hanya ingin kita melakukan simulasi sebelum hari pernikahan kita." Hardin membelai kepala Tessa dan tersenyum kecil.
"Kau aneh!" Tessa menarik tangan Hardin untuk berjalan masuk, ini pertama kalinya ia melangkah masuk kedalam katedral setelah sekian lama tak ia lakukan.
Tidak. Tessa tidak lagi melakukanya sejak lama, ia masih percaya kepada Tuhan tetapi alasannya untuk datang berdoa ketempat ini sudah tidak ada.
"Baguskan tempatnya? Kira- kira cocok gak buat pemberkatan kita disini?" Hardin menoleh dan menatap ke arah Tessa yang tak berhenti tersenyum.
Bagaimana bisa Hardin menghilangkan senyum manis ini dari hidupnya.
"Bagus aku suka... Nanti bagaimana jika temanya white pasti cantik." Tessa memutar tubuhnya menghadap ke arah Hardin saat mereka telah sampai di paling depan.
"Bagus aku juga suka putih..."
"Kenapa Katedral sebesar ini sangatlah sepi?" Tessa bingung saat menyadari, hanya ada mereka berdua yang berada di dalam ruangan Katedral yang sangat luas.
Hardin hanya tersenyum dan menganggukkan, ia seperti sedang melakukan telepati dengan Tessa yang merubah raut wajahnya menjadi terkejut.
"Kau sengaja melakukannya."
"Yeah aku pikir untuk kita melakukan simulasi." Hardin tertawa saat Tessa menepuk bahunya.
"Kau siapa?"
"Aku siap." Tessa tersenyum meraih kedua tangan Hardin dan mengeggamnya.
"Aku Hardin Josephine saat ini bersungguh- sungguh meminta Tessa Azela sebagai istriku, dalam suka maupun duka, dalam sakit ataupun sehat. Miskin ataupun kaya di hadapan Tuhan aku berjanji akan mengasihi tanpa syarat apa pun. Dan aku akan menjaga Tessa sebagaimana aku menjaga diriku."
Tessa sampai tak bisa untuk berkata- kata ia sudah telanjur menangis. Bahunya bergetar air matanya terus berjatuhan membasahi kedua pipinya.
"Are you okey?" Hardin mengulangi sekali lagi pertanyaan karena ia tak menyangka Tessa akan menangis seperti ini.
"Diamlah! Aku hanya terharu... Tunggu biarkan aku menarik napas terlebih dahulu." Tessa melepaskan satu tangannya sesaat, ia menarik napasnya perlahan dan menghembuskanya. Jemarinya mengusap air mata yang entah, kenapa terus jatuh tak tertahankan.
"Aku Tessa Azela dengan ini menerima Hardin Josephine sebagai suamiku. Dalam suka maupun duka, sakit ataupun sehat, kaya ataupun miskin. Aku akan menghormati Hardin Josephine sebagai suamiku mencintai ia seumur hidupku sebagaimana ia akan bertanggung jawab atas diriku." Tessa berhasil melakukanya, meskipun ini hanya akting dan belum yang benar- benar di lakukan tetapi setidaknya Tessa dapat merasakan momen berharga ini.
"Sekarang kalian adalah sepasang suami istri yang sah di mata Tuhan."
Tiba- tiba saja suara orang lain muncul entah dari mana membuat Hardin dan Tessa sama- sama terkejut. Ia tak menyangka hal yang ia lakukan berdua di saksikan secara langsung oleh pastor.
"Kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri." Pastor paus Petrus berdiri dari tempat duduknya dan mendekati dua anak manusia yang menatapnya dengan tatapan bingung.
Hardin tersenyum membuka kotak cincin yang ia beli dari online sebelum mereka datang kesini. Ia lebih tak menyangka hal ini akan terjadi, padahal sebelumnya Hardin hanya berencana untuk simulasi saja.
Dengan perlahan tangan Hardin menyematkan cincin di jemari manis tangan kanan Tessa. Begitupula, dengan Tessa yang membalas hal serupa dengan menyematkan cincin di jari manis Hardin.
Hardin menatap mata Tessa. Menarik tengkuk Tessa dan memberi kecupan kecil pada bibir Tessa, sungguh tak percaya bahwa saat ini mereka telah sah menjadi suami dan istri.
"Kau menjebakku." Tessa menatap ke arah Hardin yang berada di sampingnya.
"Pernikahan ini yang kau maksud?" Hardin kembali mengulang pertanyaan.
"Kau tak suka kita menikah?" Hardin kembali mengajukan pertanyaan lagi, setelah melihat reaksi Tessa yang sepertinya tak menyukai pernikahan ini.
"Rencana kau ingin kita memiliki anak berapa." Tessa langsung mencakup wajah Hardin yang terlihat terkejut.
"Tessa..." Hardin menjeda perkataanya.
"Aku hanya bercanda sayang..." Tessa mengecup pipi Hardin.
Hardin kembali merasa bahwa ada sesuatu yang aneh kepada dirinya. Sayangnya, sejak awal ia sama sekali tak membawa obat sama sekali.
"Hardin hidungmu berdarah!" Tessa terkejut saat melihat hidung Hardin mimisan.
"Sayang, aku baik- baik saja," ujar Hardin menangkap tangan Tessa yang mencoba menyentuh wajahnya.
"Baik bagaimana! Kau mimisan Hardin dongakkan kepalamu." Tessa masih berusaha untuk tenang, karena ia seorang dokter. Tessa mencoba menangani hal ini dengan peralatan seadanya.
"Diam... Jangan banyak berbicara, tenang." Tessa menahan mimisan Hardin dengan tisu yang ada di tangannya, dan sedikit memberi tekanan pada kedua lubang hidung selama beberapa menit.
Hingga akhirnya Tessa bisa menghentikan mimisan yang terjadi pada Hardin. Mata mereka saling bertemu satu sama lain, Tessa tak tau apa yang terjadi pada Hardin. Tetapi tanda sebuah mimisan bisa jadi sebuah penyakit berbahaya atau bisa saja sesuatu kecil yang terjadi seperti kelelahan.
"Kita ke rumah sakit yah," Tessa memegang tangan Hardin, mencoba untuk menyakinkan Hardin lebih baik ke rumah sakit saja.
"Sayang. Aku Baik- baik saja... Bukankah mimisan sering terjadi ketika merasa kelelahan?" Hardin tak akan mungkin mau untuk di ajak ke rumah sakit.
"Baiklah, ayo kita pulang biar kali ini aku yang menyetir." Tessa membelai rambut Hardin ia tau bahwa Hardin orang yang sangat keras kepala.
Sesampainya di apartemen Tessa segera membawa Hardin untuk berbaring di sofa yang berada di ruang tamu. Wajah Hardin benar- benar terlihat pucat, tetapi Hardin masih bersih keras tak ingin menghubungi Dokter atau pergi ke rumah sakit. Tessa seperti orang yang bodoh tak tau harus melakukan apa! Ia tak punya alat kedokteran sekarang, dan tak ada yang bisa ia lakukan selain menemani Hardin di sisinya.
"Kemarilah." Hardin membuka matanya dan melebarkan tangannya meminta agar Tessa berbaring di sampingnya.
Tessa melakukannya berbaring di dalam pelukan Hardin, di atas sofa kecil yang hanya bisa menampung tubuh mereka berdua. Hardin memejamkan matanya, memeluk tubuh Tessa istrinya sudah cukup mengurangi rasa sakit yang Hardin rasakan.
"Maaf..." Hardin berbisik kecil.
"Untuk apa?" Tessa memutar tubuhnya meletakan kepalanya di dadanya Hardin, mendengarkan detak jantung yang sangat kencang seperti detak jantungnya saat ini.
"Aku kelelahan, dan membuatmu khawatir..."
"Apa yang kau katakan! Aku sudah menjadi istrimu dan kita telah menjadi keluarga." Tessa mengecup pipi Hardin.
![](https://img.wattpad.com/cover/295774918-288-k299517.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐀𝐔𝐆𝐇𝐓𝐘 𝐒𝐄𝐂𝐑𝐄𝐓𝐀𝐑𝐘
RomanceCERITA AKAN DI PRIVATE SECARA ACAK JIKA INGIN BACA PART LENGKAP DI HARAPKAN FOLLOW DULU. JANGAN DATANG UNTUK PLAGIAT! Tessa Azela wanita yang memilih untuk bekerja menjadi pacar sewaan atau apapun yang berupa sewa. Ia akan di bayar dengan perjam s...