DEVANO - 18

1K 35 22
                                    

"Tunda lapar, makan indomie. Hati bergetar, cinta pun bersemi."

- Sabian Mahatma -


.

.

18

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18. Perdamaian perdamaian~

Edrea mendengus kesal saat mengetahui wujud makhluk yang akan menjadi Bos nya itu. Ia mendudukkan bokongnya dengan kasar di kursi yang ada dihadapannya Devano, lalu menatap malas laki-laki yang masih sibuk menertawakan dirinya.

"Lo bawa, berkas-berkas yang gue suruh?" Tanya Devano, membuat Edrea menoleh dan mengangguk.

Ia membuka tas tote bag miliknya, mengambil sebuah map yang berisikan persyaratan-persyaratan untuk melamar kerja yang telah ia siapkan.

Edrea memberikan map itu kepada Devano. Devano pun menerimanya lalu membacanya sejenak, tangannya bergerak mengambil benda pipih yang sedari tadi ia simpan di dalam saku jas hitamnya.

Jemari kekarnya menelusuri layar ponselnya, mencari icon bergambar kamera di sana. Setelah berhasil menemukannya, ia langsung membukanya dan memotret semua surat persyaratan melamar kerja yang di bawa Edrea.

"Nggak usah terima gue," ucap Edrea tiba-tiba.

"Liat jawaban ayah gue nanti, dia yang mutusin buat nerima lo atau nggak."

Edrea menghela nafasnya, entahlah, ia benar-benar berharap supaya dirinya tidak di terima di perusahaan ini.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Devano mendapat jawaban dari Ayahnya. Dan? Ingin tahu, Edrea di terima atau tidak?

Ya! Edrea berhasil, ia terima di perusahaan besar ini sebagai bendahara.

"Gue? Jadi bendahara?!" Edrea terkejut saat mengetahui dirinya di terima di perusahaan ini sebagai bendahara.

Benar-benar, menjadi bendahara itu adalah pekerjaan yang paling Edrea tidak sukai. Di sekolah saja, setiap ada pemilihan perangkat kelas, ia selalu menghindar saat dirinya sudah di calonkan menjadi bendahara oleh Bu Andin.

Bendahara itu pastinya identik dengan hitung menghitung, nah! Itulah sebabnya Edrea sangat-sangat tidak menyukai pekerjaan menjadi bendahara.

"Nggak, nggak. Gue nggak mau," protes Edrea setelah pertanyaannya tadi diangguki oleh Devano.

"Harus mau, nanti terbiasa."

"Ish! Bendahara itu susah, Devan, gue males berurusan sama angka-angkaan. Lo, tau kan? Nilai matematika gue itu paling-- ah! Kenapa si harus bendahara?!" tolak Edrea panjang lebar.

"Jalani, syukuri, katanya mau kerja, mau mandiri." Mendengar itu, Edrea kembali mendengus kesal. Tetapi, jika di pikir-pikir, ucapan Devano ada benarnya juga. Tapi kan, ia tetap tidak suka menjadi bendahara.

DEVANO [ On going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang