Happy reading :)
""""
Pangeran Wang Wook berdiri di tepi tempat tidur, menyaksikan Ara yang tengah diperiksa oleh tabib wanita bernama Hon Jae.
"Bagaimana keadaannya?" tanya sang pangeran dingin bercampur dengan perasan sedikit khawatir.
"Lady Hae Ji mengalami kecemasan yang berlebihan. Pingsan nya tidak akan lama." Pangeran Wang Wook menghela nafas lega.
"Biarkan saja Lady beristirahat hingga pagi, dan pastikan agar Yang Mulia tidak kedinginan," tutur sang tabib yang langsung dibalas anggukan oleh sang pangeran.
Malam ini begitu gelap gulita karena sang bulan tertutup awan hitam. Hanya kunang-kunang dan lentera yang seakan menjadi pengganti bintang-bintang yang hilang. Pun, udaranya cukup dingin.
Pangeran Wang Wook berusaha menutup mata sembari memeluk tubuh sang istri. Setelah sekian lama, dirinya kembali ke rumah. Namun ini hanya untuk sementara. Dia akan pastikan itu.
Ara merasakan kehangatan yang begitu nyaman. Dia menggeliat kecil dan merubah posisi dengan semakin menenggelamkan wajahnya ke ceruk yang dia kira itu adalah guling.
Tak lama kemudian kening Ara mengerut bersama hidung kecilnya yang kembang kempis, mendeteksi aroma yang menyeruak masuk ke Indra penciuman nya.
Kek nya kenal?!
Mata Ara seketika terbuka lebar karena mengingat sesuatu dan semakin melebar ketika dia mendapati seorang laki-laki didepannya, yang tengah memeluknya.
"Aaa!!!!" teriak Ara yang langsung membuat laki-laki terbangun akibat suara cempreng itu.
Ara segera bangkit dan menelungkup diri sambil menenggelamkan wajahnya. Disaat yang sama Pangeran Wang Wook pun ikut beranjak juga.
"Ada apa? Apa kau mimpi buruk?" tanya Pangeran Wang Wook risau seraya memeriksa keadaan Ara tanpa menyingkirkan surai rambut gadis itu yang berjatuhan.
"Ayah ibu?! Hiks..." tangis Ara.
Sekarang Ara benar-benar sadar bahwa dirinya tersesat diantara waktu dan ruang yang tidak Ara mengerti. Ara rindu dunia nyata, dunia yang sebenarnya. Ara tidak ingin menjelajah waktu.
Apa gadis itu lupa dengan kehidupan pahit di dunia nyata? Tidak. Karena Ara berpikir hidup di sini pasti akan lebih sulit.
Yang paling menyedihkan bagi Ara adalah, dirinya akan mati muda. Jadi tidak ada keberadaannya di sini tidak ada untungnya bagi Ara.
Bagaimana tidak stress coba?!
Pangeran Wang Wook menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis nan samar. Ini baru pertama kali sang istri menyebut kedua mertuanya. Gadis itu begitu tertutup dari dulu.
Semenjak kedua orangtuanya meninggal, Hae Ji jadi pendiam. Perempuan itu juga penurut, dan samasekali tidak pernah protes, atau membuat orang lain merasa terbebani. Entah mengapa melihat istrinya bersikap terbuka seperti ini membuat dia sedikit lega.
Kini hanya Hae So lah adalah satu-satunya keluarga dekat Hae Ji, dan menjadi sosok penjaga untuk Hae So.
Perlahan Pangeran Wang Wook mengelus lembut surai rambut kepala sang istri untuk menenangkan, namun segera ditepis kasar oleh Ara.
"Jangan menyentuhku!" ketus Ara tidak suka.
Alasan Ara bersikap seperti ini karena dia tahu lambat laun laki-laki itu akan mencampakkannya, seperti di drama.
"Aku ingin keluar!" tukas Ara kemudian beranjak kasar turun dari kasur, melangkah dengan cepat seolah beberapa saat yang lalu gadis itu tidak jatuh pingsan.
Pangeran Wang Wook ternganga melihat kelakuan aneh sang istri. Namun rasa cemasnya lebih mendominasi, dia pun segera mengejar perempuan itu untuk mencegah.
"Kau jangan terlalu mengkhawatirkan Hae So! Aku sudah memeriksanya, dia baik-baik saja." Penjelasan itu bahkan samasekali tidak dimengerti oleh Ara, dan membuatnya naik darah untuk kesekian kalinya.
Segera Ara melepas kedua tangan itu dari pundak. Ingin rasanya dia berucap,"Siapa bilang khawatir sama Hae So?! Gue lagi khawatirkan adalah diri gue sendiri! Help! Kenapa semua orang salah sangka sama gue?!"
Ara membuang muka, tanpa mengucapkan sedikit pun uneg-uneg dalam hatinya.
"Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar," ucap Ara dingin. Dirinya berpikir malam-malam begini tidak baik untuk bertengkar.
Pangeran Wang Wook terdiam sejenak, namun pada akhirnya dia berkata, "Baiklah akan aku temani."
Tidak usah! Aku aku bilang tidak usah! Aku ingin sendiri!
Entah Ilham dari mana batin Ara berubah pakai bahasa baku.Ara ingin sekali menolak tapi tidak tahu mengapa lidahnya terasa kelu untuk memberontak. Beruntung, gadis itu bahkan tidak melupakan kejamnya kehidupan di istana. Jadi, jangan coba-coba meremehkan seorang pangeran.
Mereka berdua pun berjalan dibawah kegelapan. Hanya bermodalkan satu lentera untuk pencahayaan arah langkah kaki mereka. Sang pangeran lah yang membawa lentera itu. Sementara Ara cukup membawa tubuh Lady Hae Ji saja sudah membuatnya lelah, lelah hati.
"Langit nampak tidak seindah dari biasanya. Lebih baik kita pulang!" ajak Pangeran Wang Wook. Namun permintaan itu dihiraukan oleh Ara, dia terlalu sibuk memandang langit malam.
"Tidak akan lama," ujar Ara, sedetik kemudian dia menggerakkan jari telunjuknya ke atas.
"Lihat! Awan itu bergerak! Sebentar lagi Bulan tidak akan tertutupi," ucap Ara.
Sejenak sang pangeran mengikuti arah telunjuk lentik itu. Dia tidak peduli, juga tidak tahu dan tidak ter-ingin tahu.
"Jadi aku belum mau pulang!" Ara menyibakkan gaunnya kasar kemudian melanjutkan langkahnya.
Beruntung malam itu, jadi tidak banyak orang yang melihat tingkah Ara yang jauh dari kata bangsawan normal.
Pangeran Wan Wook hanya menelan saliva melihat tingkah istrinya yang dia rasa semakin aneh saja. Namun sebagian besar, hatinya tidak peduli dengan perubahan itu. Dia lebih memilih mengikutinya saja.
Dia ingin mencegah. Tapi perempuan itu sepertinya memiliki keinginan kuat untuk keluar. Jadi, dirinya tak tega menghancurkan kebahagiaan kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...