Happy Reading ✨
***
Ara mengunyah makanannya sambil menatap Pangeran Wang Wook yang sedang melakukan hal serupa.
Gelagat laki-laki itu ketika 'mengatakan ada hal penting' cukup aneh di mata Ara. Sekarang dia ketenangan–dari luar– tapi setelah menyelami netra hitam itu semakin dalam, Ara melihat sesuatu yang membuatnya semakin tidak sabar.
Mendengar bunyi alat makan Ara di tengah suasana hening di ruangan itu, Pangeran Wang Wook mengajukan pertanyaan yang membuat Ara menghela nafas, "Kau tidak menghabiskan makanan mu?"
"Makanan ku sudah habis," desis Ara setengah kesal. Ara sudah membuktikan apa yang dia lihat dan rasakan. Pasti ada hal sangat besar, bahkan sampai membuat indra penglihatan pangeran itu tidak fokus.
"Cepat habiskan makanan mu!" ujar Ara ketus. Meninggalkan rasa khawatirnya beberapa saat lalu, Ara sedikit jengah dengan tingkah Pangeran Wang Wook yang terkesan plin plan alias labil.
Laki-laki itu seolah menunda untuk bicara penting dengan nya sedari tadi. Padahal sebenarnya Ara tidak begitu lapar sebelumnya.
Sekarang, Ara penasaran!
Dulu, Ara sulit membaca hal terdalam dari pangeran kedelapan itu, tapi sekarang, mungkin karena sudah cukup lama hidup bersama, dia tidak merasakan kesulitan untuk melakukan hal tersebut.
Pangeran Wang Wook meraih serbet guna membersihkan mulutnya. Dia bersitatap dengan Ara cukup lama, di dalam kesuyian yang nyaris membunuh seluruh oksigen di sekitarnya.
Lidah pangeran itu benar-benar kelu. Dibalik pembawaan nya yang selalu tenang, otaknya berpikir keras bagaimana menjelaskan 'keniscayan' yang harus mereka hadapi. Apalagi setelah mendengar keluhan dan ketakutan perempuan itu akibat melihat para prajurit istana sudah sampai ke perbatasan Goryeo dan Dinasti Song tempat mereka berpijak kini.
Sungguh, Pangeran Wang Wook semakin ragu, oh bukan, tepatnya takut. Takut tekad kuat perempuan itu tidak bisa dia hancurkan, yang nantinya akan menghancurkan hidupnya.
Ya, dewa. Pangeran Wang Wook benar-benar mencintai putri selir yang nekad dan keras kepala itu, tidak peduli dengan apapun.
"Tunggu lah. Aku akan membersihkan diri terlebih dulu."
Ara membuang nafas jengah, tidak membalas senyuman manis laki-laki yang telah mengusap puncak kepalanya itu.
Ara menunggu pangeran Wang Wook di teras belakang yang mengarah langsung ke danau kecil, seperti biasa, sambil melamun kan ini itu. Firasat nya pun sudah tidak enak. Dia tidak peduli jika Pangeran Wang Wook yang melakukan kegiatan lain di belakangnya.
Hingga langit pun mulai menguning. Malam hari akan segera tiba.
Baru saja Ara hendak menaikan kaki mungilnya dari dalam air, tiba-tiba dia melihat seorang mengambil posisi duduk di sampingnya.
Benar-benar, Pangeran Wang Wook bahkan melangkah tanpa suara sedari tadi.
Ara tersenyum, nyaris tertawa. Pangeran Wang Wook sudah menyaksikan pemandangan itu berkali-kali. Tetapi tetap saja, keindahan lengkungan bibir bak pelangi di pagi hari itu tidak berkurang, tidak membuat nya bosan.
Perempuan di depannya itu memang berbeda. Dulu, dia tenang, anggun tidak kepalang, wajah nya terkesan sangat lembut, bahkan fitur wajahnya sangat menjelaskan ketundukan dan kebersihan hati yang sangat dalam. Pangeran Wang Wook mengagumi semua itu. Jujur. Tidak bohong.
Sekarang lihat, perempuan yang dikenalnya lewat sang ayah itu sedang memukuli bahu nya sambil tertawa. Apalagi, yang dia ingat adalah perempuan tersebut suka sekali debat dengan nya, tidak, bukan debat, perempuan itu sangat berani untuk menyampaikan pendapatnya, juga kekanakan. Sesungguhnya Pangeran Wang Wook kurang menyukai hal-hal semacam itu, tapi dia tidak bisa lepas darinya. Jujur. Tidak bohong. Pangeran Wang Wook sadar bahwa dia sudah mencintai orang begitu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...