***
Ara bimbang. Dia sudah mandi dan berdandan. Hanya saja dirinya ragu keluar kediaman, untuk melakukan hal yang.... Ya, sedikit sensitif.
Tentang Ara yang ingin membatalkan pernikahan nya dengan Pangeran Baek Ah. Apa keputusan hatinya itu sudah selaras dengan akal sehat?
Hal tersebut lah yang membuat Ara bimbang.
Helaan nafas berat sudah keluar dari mulut Ara untuk kesekian kalinya, sampai mengeluarkan bunyi seperti orang yang bernafas di dalam air, membuat Dayang Im yang ada di belakang Ara geleng-geleng.
"Ikuti kata hati saja Yang Mulia Putri," saran sang dayang. Ara yang sedang menekuk lututnya berbalik, beralih pada posisi sila, menghadap dayang nya.
"Ya, aku juga ingin begitu. Namun, Apa itu tidak terlalu cepat? Apalagi baru kemarin aku ke Aula Ayah, membahas pernikahan ku dan Pangeran Baek Ah. Bukankah aku lebih baik menunggu Pangeran Baek Ah meminta kesempatan. Setidaknya satu hari, atau dua hari?!" pungkas Ara, menatap Dayang Im yang tengah berpikir. Tak lama sorot mata sang dayang berakhir menyiratkan kesetujuan.
"Apa Anda sendiri bersedia untuk memberikan kesempatan?" tanya Dayang Im hati-hati. Agaknya dia tak ingin kalah dengan pernyataan masuk akal sang putri.
Ara terdiam cukup lama. Dia menggigit bawah bibirnya, menatap wajah keingintahuan sang dayang.
"Sejujurnya.... Tidak. Namun aku seperti sulit untuk melepaskan nya." Suara Ara memelan di ujung karena dadanya terasa sesak.
"Sepertinya anda benar-benar mencintai Pangeran Baek Ah, Yang Mulia Putri. Bukan hanya sekedar untuk menghindari kejaran Pangeran Wang Wook," ungkap Dayang Im.
Bibir Ara membentuk garis lurus tipis, di samping si empunya berpikir.
"Sepertinya.... Iya," ujar Ara pada akhirnya membuat perasaan nya semakin tidak enak.
"Lagipula ketika aku mengatakan 'iya' pada Ibu Shinseong saat membawa surat lamaran itu, aku tidak pernah berpikir untuk menjadikan Pangeran Baek Ah sebagai tameng atau bahkan pelarian ku dari Pangeran Wang Wook," lanjut Ara, kemudian menunduk, teringat pertengkaran antara dirinya dan Pangeran Baek Ah semalam.
Dayang Im meletakkan kening nya di lantai, mengeluarkan kalimat yang mengandung permohonan yang amat sangat karena sudah berpikir buruk tentang Ara, junjungannya, 'Yang Mulia'.
Melihatnya, Ara terkekeh hambar. "Jika para penghuni istana dan bangsawan tahu tentang hal itu, pasti akan berpikiran sama seperti mu. Bangun lah! Aku memaafkan mu kali ini."
Suara lembut di akhir kalimat sang putri, membuat Dayang Im tidak begitu ragu untuk mengangkat kepalanya. Namun sudut mata itu yang meruncing membuat dirinya merinding.
Ara memalingkan wajahnya ke samping, melihat genangan air danau buatan yang ada di belakang kediaman nya, mengenyampingkan rasa kesalnya sang dayang.
"Dayang Im," ucap Ara tiba-tiba, dengan suara pelan, dan cukup mengandung sedikitnya keputusasaan.
"Ya, Yang Mulia Putri." Dayang Im merespon dengan hati-hati.
"Jika kau diminta untuk memilih cinta atau kehormatan, mana yang kau pilih?"
***
"Sulit untuk memilih Yang Mulia," jawab Dayang Im kala itu.
"Kehormatan sangat penting, namun rasa cinta adalah alasan yang banyaknya dipakai oleh orang dalam kebahagiaan mereka.... Juga penderitaan mereka. Maaf Yang Mulia Putri, jawaban saya sangat membingungkan. Hamba terlalu awam diberi pertanyaan semacam itu," lanjut sang dayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...