Burung-burung berkicau menghiasi sinar matahari pagi. Mereka bertengger sempurna di atas kerangka jendela. Tak heran suara merdu itu terdengar jelas oleh insan yang belum beranjak dari tempat tidur di sana.
Ara menguap dengan elegan, kemudian tersenyum tipis dengan kondisi mata yang masih tertutup.
Kenapa tersenyum tipis? Karena Ara yakin suara yang membuat dirinya terbangun adalah alarm di ponselnya. Ara tahu, sangat sama persis.
Tuh kan bener! Itu cuma mimpi. Terimakasih alarm!
Ara membuka mata dengan perasaan lega. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Senyuman itu tiba-tiba memudar tatkala Ara melihat beberapa burung kecil berwarna kebiruan menyambutnya di jendela yang sangat familiar.
Bukan jendela kaca kamar milik Ara, melainkan jendela kayu khas jaman dulu, seperti kemarin-kemarin. Artinya gadis itu masih terjebak di zaman yang dirinya pun tidak tahu.
Padahal sebelumnya Ara yakin itu suara alarm ponsel. Tapi sayang, kenyataannya, para burung benar-benar membangunkannya saat ini.
Ara tidak mau bohong. Saat di dunianya, dia terbangun bersama pemandangan dari luar jendela yang cukup miskin akan keindahan alam.
Seperti biasa, di pusat kota tempat yang menjadi tinggal Ara, kebanyakan berisi gambaran pusat kota penuh polusi bersama deru tranportasi yang tidak berhenti. Namun, Ara juga tidak bisa bohong bahwasanya dia berharap semua kembali seperti sediakala.
Gara-gara ingin pulang, pikiran Ara kembali tertuju pada pertengkaran orangtuanya yang berujung pada kata cerai. Padahal kemarin dirinya nyaris terlupa dengan kejadian naas yang membuat mentalnya break dance.
Juga yang paling menyesakkan dada Ara adalah, ke-dua orangtuanya itu saling melempar hak asuh atas dirinya. Mereka berdua sama-sama tidak menginginkan sosok Ara. Ini namanya ironi di atas ironi.
"Lady?" Panggilan itu sukses membuat tangis Ara yang tak terencana berhenti seketika. Dengan segera gadis itu mengusap kasar air matanya.
"Lady, anda tidak apa-apa?" tanya seorang dayang yang biasa dipanggil dengan sebutan Dayang Cha, wanita yang sedari tadi menjaga Ara.
Ara menggeleng sebagai balasan. Pandangannya menyapu sekitar, ternyata laki-laki bernama Wang Wook itu tidak ada dikamar nya sekarang, yang berbanding terbalik dengan malam hari. Tapi jujur, Ara samasekali tidak keberatan atas lenyapnya sosok itu.
"Eh, sebentar, malam tadi aku pulang jam berapa?" tanya Ara bersama suara rintik air ingusnya.
"Di malam hari saya pulang Yang Mulia."
Oh iya ya, dia mana mungkin tahu.
Bukan rindu atau apa, Ara bertanya kembali,"Kemana pangeran Wang Wook?"
Dayang itu mengangkat kedua alisnya sedikit terkejut.
"Pagi-pagi sekali, Yang Mulia sudah pulang ke Istana Utama."
Ara menghela nafas, bukan karena kesal atau kecewa. Cuma menghela biasa saja.
"Air hangat sudah siap Lady," ucap Dayang Cha membuat mata Ara langsung beralih. Gadis itu melemparkan senyum samar pada sang dayang.
Oh iya! Untung juga gue terdampar jadi bangsawan!
Ara cukup lega dengan kenyataan itu.
Baru kali ini Ara mandi ditemani dengan kembang tujuh rupa, bahkan lebih. Cukup menyenangkan, dan efeknya cukup dirasa oleh Ara. Ketika selesai mandi, tubuhnya begitu segar dan wangi pula. Harumnya menyeruak tidak lebay, terkesan cukup, alami dan menenangkan.
Ara terdiam sembari menunggu para pelayan memakaikan gaun hingga mendekorasi tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ara tahu ini akan terjadi karena faktanya dia sudah nonton drama. Jadi tidak ada ala-ala protes segala, dan lebih memilih untuk menikmati proses saja, biar tidak ada yang curiga, atau ada keributan. Toh Ara sudah tahu.
Ara keluar menuju halaman rumah, duduk ditemani teh matcha yang dipesannya pada salah satu pelayan di rumah. Gadis itu menyokong dagu dengan sebelah tangan, tengah memikirkan hal apa yang harus dilakukannya sekarang.
Kalian kan tahu, gue cuma pemeran pendukung. Gak terlalu berpengaruh juga di drama.
Sampai kapan Ara akan terjebak seperti ini dan berakhir mati pula nantinya?
Ara berdecak ketika pertanyaan itu kembali berputar di otaknya. Ara menyandarkan punggung ke kursi seraya berpikir untuk mencari cara agar keluar dari drama ini.
"Eh sebentar dulu. Apa pas episode gue mati, gue bakal balik?" tanya Ara kepada diri sendiri.
"Ya udah nunggu gue mati aja nanti kali ya? Eh tapi, kalau gue ikutan mati beneran sama pemeran ini gimana?" ralat Ara merasa frustasi.
Apa gue minta bantuan Hae So aja ya? Kita kan sama-sama cewek modern. Sama-sama terjebak lagi. Gak salah dong kalau gue minta bantuan ke dia.
Ara bermaksud untuk mengajak kerjasama dan meminta pendapat Hae So atas masalah yang dialaminya.
"Pelayan!" panggil Ara.
Wanita yang bekerja sebagai pelayan itu segera menghampiri tuannya,"Ada yang bisa saya bantu Lady?"
"Kau tahu Hae So kemana?"
"Pelayan Mina tengah mengajaknya berjalan-jalan," jawab sang pelayan mantap.
Oh iya, sekarang gue ingat.
(Episode kedua)
Hae So Ah sebagai pemeran utama berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya kini. Artinya dia berusaha untuk menerima apa yang terjadi.
Apa gue juga harus bersikap seperti itu juga?
Ara bertanya kepada diri sendiri mengenai hal itu. Tapi jujur, Ara tidak yakin akan mendapat kebahagiaan di sini.
Ternyata gue salah, nyesel malam itu buat permohonan gak jelas.
Eh tapi, permohonan gue jelas-jelas gak terkabul. Orang malah dapet peran pendukung, yang bakal mati muda pula.
Gadis itu semakin dibikin tidak karuan dan kesal.
Ara mengigit kuku sembari memikirkan hal yang harus dilakukannya sekarang. Terlalu banyak pilihan berputar di otaknya. Benar-benar membingungkan bagi Ara.
Membagongkan memang!
***
Kira-kira apa ya rencana Ara ke depan?🤔
Apa dia berencana untuk nikmati hidup di dunia transmigrasi nya saja? Atau merencanakan hal lain? Atau bahkan suatu yang tidak terduga terjadi?
🙃Jangan lupa vote dan komen ya zeyeng 👋
Love youu❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...