Sejenak Ara melirik susu yang sore tadi dibawakan sang pembantu rumah tangga yakni Bi Ade. Namun cairan putih pekat itu tidak tersentuh sedikitpun oleh sang pemilik. Dia pun beranjak dari kasur menuju ke dapur.
Rasanya terlalu takut meminum susu itu, takut sudah basi. Namun entahlah, Ara tidak bisa memastikan. Soalnya Ara anak IPS, kurang tahu, dan juga agak malas untuk memeriksa.
Ketika tangan Ara menyentuh pegangan tangga karena hendak turun. Dua orang terlihat di bawah, dan itu membuat gadis dia tersenyum simpul.
"Ay_"
Prang!
Seketika mata Ara mengerjap kilat karena terkejut.
Pria paruh baya berkulit putih itu baru saja melemparkan ponselnya tepat mengenai guci berukuran sedang. Dia adalah ayah Ara, Affandi Sulaiman.
"Karena laki-laki murahan itu, kau sampai membohongi ku!"ucapnya penuh penekanan, kemudian
Plak!
Ara meringis sembari memegang pipi karena ngilu.
"Dasar wanita murahan! Enyah lah dari sini!"teriak Affandi sedetik setelah menampar sang istri, Ayu.
Perlahan tubuh Ara turun, terduduk di penghujung tangga. Pandangannya masih terfokus pada sang ayah yang kini tengah dilanda amarah, wajahnya begitu merah padam.
Sambil memegang pipi bekas tamparan, wanita itu berkata dengan lantang,"Jangan munafik kau! Kau sendiri telah bermain dengan sekertaris mu sendiri kan?! Hah! Jawab! Kau juga laki-laki pecundang!"kelakarnya kemudian meludah jijik di depan pria itu.
Ayah Ara semakin mendekati sang istri dengan bringas,"Apa kau bilang?! Kau saja yang tidak becus mengurus suami mu!"
"Hah?! Kau bilang aku tidak becus?! Kau sendiri yang memintaku untuk bekerja demi masa depan Ara! Ah, tidak. Sepertinya itu bagi masa depan mu saja! Kau memang dari awal berencana untuk selingkuh kan?! Hah! Pecundang!"
Tak kuasa, Ara menutup mulutnya setelah mendengar percekcokan itu. Sambil menyenderkan kepalanya, dia menangis tanpa suara.
"Mereka gak nyadar apa kalo gue di sini, batin Ara kesal, sekesal-kesalnya.
"Besok kita cerai! Aku talak kamu sekarang!"teriak pria itu seolah tak mau kalah. "Dan Ara harus bersama mu?!"
"Tidak! Ara harus bersama mu! Jika tidak, itu hanya akan membuat mu lari tanggung jawab! Tidak, aku putuskan Ara harus kau bawa!"
"Tidak! Apapun yang terjadi Ara harus bersama mu!"
"Aku tidak bod_"
Plak!
Gila, pertengkaran ini sungguh gila. Ingin sekali Ara turun dan melerai pertengkaran mereka. Tapi hati gadis itu terlalu sakit karena perceraian kedua orang tua, apalagi mereka saling melempar anak asuh seakan keberadaan Ara sebagai anak tidak begitu berharga.
Ara berlari menuju kamar. Menangis sejadi-jadinya di balik kokohnya pintu kamar itu, m
menelungkup tubuh sembari meratapi nasibnya yang sama sekali tidak diinginkan.Ya, dari awal Ara tahu. Ibu dan ayahnya menikah karena dijodohkan. Dan untuk pertama kalinya, Ara melihat mereka bertengkar didepan mata kepala sendiri. Namun nyatanya itu akan menjadi pertengkaran pertama dan terakhir. Yang ironisnya berujung pada kata cerai.
Dari dulu Ara mengakui bahwa fasilitas yang diterimanya begitu cukup. Berbanding terbalik hatinya, yang kurang kasih sayang orang tua. Rasanya begitu kosong.
Jika saja setiap dua kali sehari Ara tidak dapat email berisi pengertian dari sang ibu. Entahlah mungkin dirinya akan menjadi gadis berandalan yang benci bokap nyokap. Main geng-gengan ke sana kemari seperti di televisi-televisi yang menyediakan chanel untuk aktivitas polisi di malam hari.
Juga dibantu oleh teman-teman sekelas yang sebagian besar dari mereka begitu baik pada Ara, bahkan berbondong-bondong mendekatinya.
Meski Ara tahu sebagian besar dari mereka mendekat karena dirinya kaya. Itulah alasannya mengapa Ara hanya memilih satu teman dekat, yakni Paramitha, karena gadis itu tidak aneh-aneh seperti yang lainnya. Namun sayang, orang tua Paramitha lah yang aneh memandang dirinya. Rasanya cukup serba salah memang.
Sudah merasa lelah, Ara menelik jam dinding kembali. Jam digital berwarna hitam pekat itu menunjukkan pukul 03:00 WIB. Kurang lebih sekitar sejam setengah dirinya nangis.
Gara-gara pemandangan buruk yang baru saja dia saksikan. Rasa haus Ara jadi hilang. Hati nya yang kini tengah hancur terbukti bisa membuat kebutuhan tubuhnya dibikin mati rasa.
Akibat terlampau lelah menangis, Ara jadi ngantuk. Dia pun memutuskan untuk berjalan malas menuju tempat tidur, menikmati setiap sentuhan dari kasur empuknya sembari melihat langit dari jendela kecil yang ada di atas.
Langit biru tua dihiasi bintang-bintang yang begitu berserakan, sangat memanjakan mata Ara.
Pemandangan itu membuat Ara sedikit lebih tenang. Tiba-tiba sebuah bintang meluncur mencuri perhatian mata Ara, bintang berekor seperti Apolo.
"Apakah itu bintang jatuh?," batin gadis itu menyunggingkan senyum. Ara mengelap kasar hidungnya sebentar, kemudian menggeleng. Dirinya bukanlah gadis yang percaya hal-hal mistik kuno.
Namun Ara yang hanya bermaksud bercanda, dia bergumam,"Gue harap pas bangun, gue masuk ke drama itu, jadi pemeran tokoh Hae So Ah."Tak lama terdengar suara dengkuran halus setelah itu.
Jam 03:01 WIB
Ara terbangun secara alamiah untuk keduakalinya.
Sungguh terkejut bukan main ketika gadis itu melirik jam dinding. Ara berkata dengan herannya,"Cuma tidur satu menit?! Perasaan agak puas ya tidur nya, kek lama gitu?!" Hal yang dirasanya aneh itu membuat masalah yang menyangkut kedua orang tuanya terlupa seketika.
Ketika Ara melihat ke arah samping, matanya terasa ganjal. "Eh kok laptop bisa nyala? Padahal gue udah tutup?!"ucap Ara heran.
Karena penasaran sekaligus ingin mengecek kondisi benda pipih disampingnya karena takut rusak, dia pun membuka laptop itu.
Tiba-tiba layar laptop mengeluarkan pancaran terang hingga membuat mata Ara terpejam seketika akibat silau. Sinar kuat itu seolah-olah menarik Ara masuk ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Ficción históricaAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...