Happy Reading ✨
***
Ara memejamkan mata setelah Pangeran Wang Wook menghilang bersama kudanya. Perlahan hembusan nafas keluar dari mulut kecil nya.
Ara harus yakin terhadap diri sendiri sebanyak seratus persen. Dia bisa melewati semua yang mungkin akan terjadi ke depan–baik ataupun buruk.
Untuk saat ini, Ara tidak berharap lebih pada pangeran itu. Tapi dalam relung hati kecil nya, ada secercah harapan tanpa diminta berdiri kokoh di sana.
Sarapan pagi, kemudian membaca buku hingga ketiduran dan terbangun di siang hari, lalu makan siang, baca buku lagi sampai sore dan melakukan hal sama makan malam dan ketiduran, semuanya adalah siklus hidup Ara selama tiga hari berturut-turut. Tidak ada yang berbeda.
Ara meletakkan dagunya di pagar kayu yang terdapat pada tiap sisi teras belakang. Dia tidak ingin mengakuinya, tapi seperti film-film, dirinya sedang menunggu kedatangan Pangeran Wang Wook di saat-saat terakhir dari janji yang keduanya buat. Pasti akan sangat dramatis jika terjadi.
"Laki-laki brengsek!" umpat Ara kesal, kemudian matanya menatap ke depan dengan nyalang, terdapat burung elang yang mengepakkan sayap lebarnya tapi berniat untuk terbang, malah menatap Ara seolah dia sedang sedang prihatin atas kondisi Ara saat ini.
Ara membuang muka dan berjalan cepat menuju dalam kamar. Dia mengambil tas punggung-hampir menyerupai buntalan, tapi bentuknya lebih rapi- dari dalam lemari kayu.
Kemarin Ara sangat berharap agar kantung yang sudah dikaitkan pada punggungnya itu dibongkar dan isinya di keluarkan.
Ara menghela nafas panjang dan berat. Di luar pasti dia akan dihadang oleh pemilik kamar.
"Merepotkan," gumam Ara kesal membayangkan nya.
"Nona?!" Orang yang sedang dipikirkan Ara tiba-tiba menghadapnya setelah berbalik dan mengunci pintu kamar.
Baru saja Ara hendak membuka suara, laki-laki paruh baya itu lebih dulu bercakap, "Ada seorang Tuan Muda yang ingin menemui Nona."
Mata Ara melebar indah. Tanpa berpikir panjang, dia berpikir itu orang yang ditunggunya selama tiga hari terakhir, namun kenyataannya tidak.
Melihat sosok asing di depan, lutut Ara bergetar. Dia ingin lari dan keluar dari penginapan. Dirinya yakin orang yang tidak jauh berbeda di depannya adalah orang istana. Dilihatnya dari cara orang tersebut berpakaian.
"Tunggu."
"Terimakasih, Tuan." Laki-laki yang baru saja berteriak 'tunggu" kepada perempuan yang tiba-tiba berlari secepat kilat itu menunduk ringkas pada sang pemilik penginapan.
"Tunggu! -" Dia ingin memanggil nama perempuan itu, tapi dirinya tidak tahu. Ah, sial. Itu sangat konyol dan menyebalkan.
Dengan postur tubuh yang dikategorikan cukup mungil dan bertenaga, laju lari Ara sangat cepat. Bahkan orang dewasa berjenis kelamin laki-laki yang mengejarnya itu agak frustasi melihat kelincahan Ara yang dengan mudah melompati apa yang dia lewati dan lolos dari ruang-ruang sempit dan manusia yang berlalu-lalang.
Orang-orang sekitar karena merasa terganggu dengan kejar-kejaran itu. Tapi yang kena omelan hanya laki-laki muda itu saja. Ara aman.
Kaki Ara baru berhenti setelah menyaksikan pedang panjang yang hampir mengenai dahinya tertancap sempurna di badan pohon.
Tangan Ara sudah siap mengeluarkan pedang terhenti karena pelukan tiba-tiba dari belakang. Pelukannya hangat dan penuh kelembutan. Ara yakin yang dia lihat barusan bukan Pangeran Wang Wook. Ara yakin seratus persen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...