Selama hampir setengah hari Pangeran Wang Wook memperhatikan kedua orang yang tengah berada di pondok itu hingga permulaan waktu malam. Dipastikan dia harus menemui sang adik setelahnya."Kakak?" Pangeran Baek Ah sedikit terkejut melihat laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya kini. Dia menghela nafas tanpa suara, mencoba untuk menenangkan diri.
Setelah mengulas senyum tipis, Pangeran Baek Ah berujar seraya mengulurkan tangannya untuk menyambut kedatangan sang kakak,"Silahkan masuk."
Kedua laki-laki berparas tampan itu pun masuk ke dalam. Kamar yang Pangeran Baek Ah tempati cukup luas. Berbagai lukisan menghiasi ruangan yang tampak cukup mewah itu, sangat rapi dan tertata dengan estetika.
Dari dulu Pangeran Wang Wook menyadari, salah satu alasan sang istri dan adiknya itu begitu dekat adalah kegemaran mereka terhadap karya seni. Hae Ji yang menyukai seni musik, dan Baek Ah yang menyukai seni rupa, yakni melukis.
Sang adik mempersilahkan duduk, Pangeran Wang Wook pun menurunkan tubuhnya ke atas bantal bermotif nan empuk.
"Selamat datang kakak. Kakak mau minum apa? Aku baru membeli Kopi Luwak." Sudut bibir Pangeran Wang Wook sedikit terangkat, hampir tertawa kecil.
"Membeli? Aku tidak yakin, kau bahkan tidak sedikitpun mengangkat tangan untuk memiliki benda itu."
Seraya menyeduh kopi tersebut, Pangeran Baek Ah tertawa."Ya ya ya." Tangannya pun bergerak untuk menyodorkan cawan berisi cairan kehitaman itu.
"Terimakasih." Setelah itu Pangeran Wang Wook menyesap kopi pemberian adiknya, hanya sedikit yang dia teguk.
"Kau menemui Hae Ji di pondok itu lagi?" Kopi yang mengalir ke tenggorokan hampir nyaris keluar, Pangeran Baek Ah sedikit tersedak.
Tidak peduli dengan kondisi sang adik didepannya itu yang nampak terkejut, Pangeran Wang Wook kembali melanjutkan ucapannya, "Kau menghabiskan waktu bersamanya dari siang hingga petang kan?"
Pandangan Pangeran Baek Ah beralih ke penjuru kamarnya sejenak setelah menyaksikan tatapan dingin sang kakak.
"Maafkan aku kakak." Laki-laki itu lebih dulu menyadari kesalahannya, itu alasan mengapa kata 'maaf' langsung dia keluarkan.
Pangeran Wang Wook mengela nafas kecil. "Hal ini bukan berdampak pada mu, tapi istriku akan terkena dampak lebih besar, jika kau terus-menerus bertindak seperti itu." Sorot dingin dan serius terpancar dari matanya.
"Jika kau menganggap Ji Ah istrimu, jangan biarkan dia sedih." Pangeran Baek Ah juga menghela nafas, mengatur emosinya, agar tetap tenang.
"Bukan tanpa alasan aku mengajaknya ke pondok. Ji Ah menangis, aku mencoba untuk menghiburnya," lanjut sang pangeran, kemudian mengambil jeda sebentar, berusaha untuk senantiasa berhati-hati dalam bicara.
"Baru kali ini Ji Ah berani menangis di depan ku, setelah perpisahan diriku dan dirinya dua tahun yang lalu." Dia berharap laki-laki didepannya itu tidak tersinggung dengan ucapannya. Tidak diharapkan usaha penyatuan hubungan persaudaraan antara dirinya dan sang kakak berhenti sampai di situ.
Pangeran Wang Wook menurunkan kelopak matanya sejenak, mencoba untuk tidak terprovokasi oleh dirinya sendiri. Dia ingin marah, bukan kepada sang adik, tapi pada takdir. Entahlah, akhir-akhir ini dirinya merasa diberi kesulitan dalam berkehidupan oleh takdir.
"Aku tahu, tidak baik untuk ku jika mencampuri urusan rumah tangga kakak. Tapi, permintaan konyol ku, agar kakak selalu menjaga Ji Ah untuk ku, ku harap dapat kakak laksanakan dengan baik," tutur Pangeran Baek Ah bersama senyum tipis, yang sedikit dipaksakan.
"Itu bukan permintaan konyol mu, itu kewajiban ku," balas Pangeran Wang Wook tenang, kembali menyesap kopi itu, satu kali tegukan, menyiapkan diri untuk menghadapi perkataan pedas lainnya yang akan dikeluarkan oleh sang adik.
"Buktikan perkataan mu kakak," ujar Pangeran Baek Ah seraya menyeringai tipis.
"Aku selalu berusaha."
"Dan aku selalu menunggu hasil dari usaha mu itu." Kini sang pemilik kamar mulai menikmati kopi yang sedari tadi dia abaikan.
Pangeran Baek Ah melirik ekspresi wajah Pangeran Wang Wook disela tegukan kopi yang langsung dihabiskannya sampai tandas itu. Dia tersenyum kecut, sang kakak masih saja nampak tenang.
Kedua alis Pangeran Wang Wook terangkat samar. Hela nafas kecil terdengar setelahnya. "Tapi berusahalah untuk berlapang dada dengan hasilnya yang kau tunggu-tunggu nanti."
Kening Baek Ah sedikit mengerut seraya berkata dalam hati, "Apa maksud laki-laki itu?" Mata yang di pejamkan olehnya berharap bisa memberikan ketenangan.
Pangeran Wang Wook bangkit, menatap damai Pangeran Baek Ah yang sudah membangkitkan diri juga. "Aku mengizinkan jika kau ingin menemui Hae Ji. Namun ku harap kau mengerti tentang batas waktu."
Tubuh sang tamu membungkuk kecil, memberikan rasa terimakasih kepada sang tuan rumah karena telah menyambutnya dengan baik.
Tanpa menemani Pangeran Wang Wook hingga ke ujung pintu, Pangeran Baek Ah hanya memandangi kepergian kakaknya itu hingga laki-laki itu ditelan pintu.
Selalu saja mereka seolah-olah tengah berperang dingin!
Apa semua itu gara-gara Hae Ji? Atau Pangeran Baek Ah sendiri? Atau bahkan Pangeran Wang Wook?
***
Ara menyisir rambut dibantu oleh dua pelayannya. Sedangkan Dayang Cha, sang dayang pribadi tengah mempersiapkan aksesoris yang akan dipakai Ara nanti.
"Ini cocok untuk musim semi," seru Dayang Cha.
"Oh ya Lady ada kabar dari Istana Utama. Pekan depan, Yang Mulia Raja akan mengadakan Upacara Pengusir Roh Jahat. Apa anda yang memilih pakaian sekarang?" tanya sang dayang sambil menyerahkan aksesoris itu pada pelayan.
"Wah, benarkah?" ucap Ara berpura-pura antusias. Karena tidak mau pusing, dia pun menjawab,"Kau saja yang pilih kan. Aku menyerahkan semuanya pada mu."
"Untuk Lady Hae So juga?" Ara terdiam sejenak. Tapi apa boleh buat, dia pun mengangguk kembali.
Semua kebutuhan Hae So, dari dulu emang Lady Hae Ji yang urus ya? Beban banget eh'
Setelah selesai, para pelayan pun keluar, meninggalkan Ara dan dayang Cha di ruangan khusus yang diperuntukkan untuk berias. Dayang itu tidak akan pergi sebelum tuannya usir, kecuali pada malam hari.
"Akhir-akhir ini Lady sering pergi sendiri. Saya sangat khawatir," lirih Dayang Cha, mengeluarkan kecemasan yang dari kemarin membeku di hatinya.
Ara tersenyum senang, ternyata di sini ada orang yang begitu memperhatikannya, hanya karena keliaran tanpa kawalan mereka cemas.
Dulu ketika SMA ada kegiatan kerja kelompok, yang mengharuskan beberapa anggotanya untuk menginap karena materi yang dibahas cukup banyak dan rumit, Ara tidak pernah ketinggalan untuk meminta izin. Namun pesan Ara dibaca pun tidak oleh kedua orangtuanya itu. Miris.
"Tidak apa-apa. Aku ingin lebih menikmati dunia ini, bukan hanya mengurung diri di kamar," jawab Ara kemudian tersenyum, membuang memori di masa SMP-nya yang kelam bahkan terjadi hingga masa SMA. Miris (2).
"Semenjak hari itu anda banyak berubah Lady, saya turut senang," respon sang dayang.
Apakah dulu gue se-menyedihkan itu?
"Oh iya dayang, aku ingin berjalan-jalan ke taman, setelah aku memeriksa kondisi Hae So."
Gue juga gak banyak dicari sama orang istana. Artinya gue terlalu banyak narik perhatian. Bagus! Itu memudahkan gue buat bergerak.
"Saya temani Lady."
"Tidak, tidak perlu. Aku akan sendiri ke kamarnya." Gadis itu sedikit ketar-ketir ketika ingin menolak.
Ara akan menceritakan pada Hae So mengenai kejadian yang tengah dialaminya kini. Siapa tahu mereka dapat saling membantu.
***
Kira-kira gimana ya interaksi mereka? Pada sabar gak nih? Wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Lead
Historical FictionAra seorang kpopers,bukan hal tabu jika ia penyuka visual oppa-oppa di luar sana. Suatu hari Ara menonton salah satu serial drama negara tersebut, yang menceritakan mengenai seorang cewek modern yang masuk ke dalam tubuh gadis bangsawan dan bertemu...