SL28

1.7K 199 8
                                    

Happy Reading 💞😊

***

Ara melirik Pangeran Wang Wook yang berada di sampingnya. Tampak laki-laki itu sedang memperhatikan Hae So yang beramah tamah kepada seorang anak kecil di sana. Tapi tak lama, Ara pun mengalihkan pandangannya ke seorang ibu tua. Sembari mengulas senyum, Ara memberikan satu pakaian dan beras pada Ibu tua itu.

"Apa perlu saya antarkan Nyonya?" tawar Ara yang tidak tega jika ibu tua tersebut membawa beras yang beratnya tiga kilo itu sendiri.

"Tidak, nona. Anda tidak perlu khawatir."

Tanpa menurunkan bibir yang mengembang cerah, Ara mengangguk. "Hati-hati Nyonya!" ucapnya setengah berteriak, dengan tangan yang sedikit melambai.

Orang tua zaman dulu memang kuat-kuat.

Ara tersenyum cerah, merasa bersyukur dapat membantu orang lain, merasa bersyukur juga karena dirinya tidak ditakdirkan masuk ke dalam jiwa orang yang tidak mampu.

Di dunia nyata, Ara kaya. Di drama juga Ara masih bisa tidur nyaman dan jajan. Nikmat yang manakah yang kita dustakan.

Di sisi lain, Pangeran Wang Wook melirik sosok Hae Ji yang begitu bersemangat untuk membagikan kebutuhan pokok. Perempuan itu selalu bersemangat, tapi tidak se-semangat bulan ini, sampai-sampai memberikan kalimat-kalimat positif dan bijaksana bagi fakir miskin.

"Jika anda tidak memiliki lauk pauk, anda bisa menjual baju ini. Aku sebagai pemilik nya tidak akan marah," ujar Ara pada seorang ibu paruh baya.

"Tapi baju ini sangat berharga Nona."

"Kesehatan tubuh mu dan keluarga mu lebih berharga," timpal Ara. Ibu paruh baya itu pun berterimakasih sebelum pergi.

Ara menghela nafas lega, merasa puas. Kegiatan nya berjalan dengan lancar.

"Baiklah semuanya sudah selesai!"

Perkataan itu membuat laki-laki disampingnya sedikit terkejut. Ara memutar bola matanya ke arah lain saat tatapannya bertemu dengan Pangeran Wang Wook.

Pokok nya Ara sakit hati dengan pernyataan laki-laki itu kemarin.

Ah, kenapa harus sakit hati? Sial.

Tidak dipungkiri bahwa Ara pun sadar bahwa kesadaran hatinya dikuasai oleh jiwa Lady Hae Ji. Ara berdoa semoga dirinya lebih bisa mengendalikan raga Lady Hae Ji, atau bahkan semoga perasaan itu cepat-cepat menghilang. Tidak peduli apakah perasaan tersebut dari pihak Ara atau Lady Hae Ji.

Ah taulah. Pokoknya Ara pusing, dia ingin puding.

"Aku ingin membeli sesuatu, kalian bisa pulang duluan." Ara berhenti di sebuah tempat yang tidak begitu ramai oleh orang yang berjualan.

"Aku akan membelikan nya. Apa yang hendak kau beli? Kau pulang saja bersama Hae So."

"Tidak. Aku bisa sendiri. Kalian pulang duluan." Ara menukas perkataan Pangeran Wang Wook dengan cepat.

"Mana mungkin aku membiarkan mu sendiri-"

"Aku tidak sendiri. Pangeran Baek Ah menunggu ku di tempat yang sudah kita berdua tentukan sebelumnya."

Pangeran Wang Wook menghela nafas, nyaris tidak terdengar. "Tidak."

Mendengar ucapan tegas itu Ara mendengus kasar. "Tolonglah. Hanya sebentar saja."

"Tolong pikirkan kesehatan mu," balas Pangeran Wang Wook, dingin namun penuh ketegasan.

Ara berdecak. Hatinya dipenuhi dengan kekesalan yang mati-matian tahan. Siapa yang tahan diatur-atur seperti itu? Di dunia nyata pun Ara tidak pernah diatur, padahal itu adalah bentuk perhatian dari sang pangeran.

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang