18. D-before the D

230 26 4
                                    

✿_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_(⁠◠⁠‿◠)_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_✿


Rose masih bangun saat semua temannya telah terlelap. Ia teringat akan paket yang belum ia buka tadi pagi. Dengan pencahayaan minim dari tongkat, Rose membuka sebuah kotak yang cukup besar. Menarik pita pembungkus dan mengeluarkan benda di dalamnya. Sebuah gaun warna merah panjang menjuntai hingga ke mata kaki. Berkerah V-neck menutup sampai ke bahu, tanpa lengan. Rose berdecak kagum. Pemberian ibunya.

"Wow," gumam Rose lirih sambil membelai gaun tersebut. Kemudian satu kotak kecil lagi di dalam kardus besar itu. Rose terbelalak dan menutup mulut dengan tangan. Takjub saat isi kotak kecil itu terekspos.

Sebuah kalung emas dengan bandul berbentuk bunga mawar berwarna merah. Sangat indah. Ada card kecil menyertai.

For my lovely daughter. Percayalah, kau yang akan membuat kalung ini terlihat cantik. Bukan sebaliknya.

Itu tulisan tangan ayahnya. Sekali lagi Rose dibuat terkesan. Kalung itu benar-benar indah. Seolah khusus dibuat untuknya.

Saat masih mengagumi kalung berbandul mawar itu, terdengar seseorang menggerumbel. Rose agak tersentak dan menengok ke sumber. Mackenzie dengan wajah setengah tidur, mencoba meraba selopnya dengan kaki. Gadis itu agak menyipit, saat melihat cahaya kecil di kamar mereka.

"Oh, Rose? Kau masih bangun?" tanyanya dengan suara masih ngantuk berat.

"Sori Mack. Apa kau terbangun karena ini?" Rose mengacungkan tongkatnya yang bercahaya.

Mackenzie mengibaskan tangan. Dia teringat alasan dia bangun. "Aku harus ke kamar mandi," ucapnya lalu berlalu ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian Mackenzie, keluar dengan wajah yang lebih segar. Sisa kantuknya sudah tak berbekas. Ia menghampiri Rose yang masih berkutat pada paketnya.

"Wuah. Kalung yang indah."

"Iya kan?" ujar Rose bangga. "Orang tuaku mengirimnya pagi ini."

Mackenzie mengangguk. Dia berisyarat meminta ijin duduk di kasur Rose. "May I?"

"Sure."

"Sangat cocok dengan gaunnya," ucap Mackenzie lagi sambil melihat-lihat gaun Rose.

"Yeah. Kurasa begitu."

"Jadi ... Besok kau akan pergi dengan Kim?"

Rose mengulum bibir.  "Begitulah."

Jujur Rose tak menyangka Kim akan mengajaknya. Dia pikir Kim akan pergi dengan Mackenzie mengingat mereka lumayan dekat setelah menjadi prefek. Walau hubungannya dengan Kim sama dekatnya. Jadi saat Kim memintanya seminggu yang lalu, Rose tak punya alasan menolak.

Kim itu baik, sopan, terlebih cowok itu sudah memberi pertolongan beberapa kali. Dan dia pilihan terbaik, dari beberapa orang yang mengajaknya. Karena hal itu juga Rose sempat menimbang untuk mengikuti kelas dansa kilat, mengingat skill dance-nya cukup buruk. Setidaknya ia ingin jadi pasangan yang baik untuk Kim.

"Kau sendiri? Siapa pasanganmu besok?" tanya Rose penasaran.

Mackenzie tampak menghela napas, dan tersenyum tanpa melihat Rose. "Albus Potter."

Rose mendadak serius. "Albus? Dia melakukan sesuatu padamu ya?"

"Tidak kok. Aku hanya tak enak  menolaknya terus," jawabnya yang lebih terdengar seperti kilahan.

"Kau yakin?" Rose masih agak sangsi.

Mackenzie tersenyum meyakinkan. Memang ada sesuatu, tapi dia tak ingin membuat Rose khawatir dan nanti malah bertengkar dengan sepupunya. Bagaimana pun setelah ini dia rasa Albus Potter akan berhenti mengusiknya. Toh cowok itu tak betah lama-lama dengan gadis yang sama. Jadi Mackenzie tinggal menunggu Albus bosan saja.

****

Hari kunjungan Hogsmade sebelum event pesta.

Saat itu Mackenzie masuk bersama teman-temannya ke sebuah toko aksesoris guna mencari pelengkap penunjang penampilan mereka untuk pesta nanti. Selesai belanja, mereka hendak pergi Three-broom stik. Tapi seseorang tiba-tiba menarik Mackenzie ke sebuah gang.

Dia berteriak dan hampir menarik tongkatnya, saat tahu itu ulah Albus.

"Kau?!" Mackenzie tak habis pikir. Tidak bisa ya Albus mengajaknya baik-baik. Bukan dengan cara mencurigakan seperti ini.

"Ya. Aku." Sepertinya memang tidak bisa. Karena Albus Potter tampak badmood.

Mackenzie mengambil jarak. "Apa yang kau inginkan?"

"Kau akan jadi pasanganku ke pesta itu, okey?" tembak Albus langsung dengan nada yang lebih seperti perintah dari pada tawaran.

Mackenzie mendelik jengkel. "Sudah kubilang kalau aku nggak mau, Potter. Harus pakai bahasa apa agar kau mengerti kata 'tidak'?!"

"Sayang ...." Albus memojokkan Mackenzie dengan menumpu sebelah tangan ke dinding batu. " .... sudah kubilang juga, kamusku tak terdaftar kata 'tidak.'  Jadi ..." Menarik sejumput rambut Mackenzie, dan menciumnya. "Aku akan menjemputmu besok di koridor Gryffindor. Mengerti honey?" Albus menyiratkan tatapan tak ingin ada penolakan.
 
Albus melangkah pergi, tapi Mackenzie menghentikannya. "Potter tunggu! Sungguh aku tak bisa pergi denganmu. Aku sudah mengiyakan ajakan Morgan?"

Albus berbalik, "Morgan? Morgan Stenth?"

"Ya. Morgan Stenth."

Albus menghela napas , "Well ..."

Mackenzie sudah berpikir jika Albus bisa menerima keputusannya.

"Mungkin aku harus mengirimnya ke Hospital Wing agar kita bisa pergi berdua," ucap Albus santai.

Mata Mackenzie melebar. Tak menyangka Albus akan mengancamnya sampai seperti ini hanya untuk ke pesta itu. Apa sih sebenarnya salahnya?

Well. Mackenzie tak tahu saja jika Albus sudah di ambang batas kesabaran. Gadis itu benar-benar menjatuhkan harga dirinya dengan penolakan berkali-kali. Maka Albus bertekad akan membawa gadis itu bersamanya dengan cara apa pun. Selicik apa pun. Belum pernah ada gadis yang mati-matian menolaknya selama 3 minggu seperti Mackenzie.

"Apa kau harus sejauh itu?" Mackenzie menatap tak percaya.

"Baby, aku selalu mendapat apa yang kuinginkan."

"Kenapa harus aku, Potter? kenapa aku?"

Albus berjalan mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke Mackenzie lagi. "Karna kau yang kuinginkan."

Mackenzie menatap muak pada Albus lalu berkata dengan  nada kebencian, "Kau benar-benar bajingan licik. Arogan!"

Albus menegakkan tubuh, tetap memasang wajah tanpa dosa. "Well, licik itu nama tengahku, sayang."

****
To be continued

 
Visual untuk Mackenzie Corton. Tapi sekali lagi, kalian bebas berimajinasi. Oke 😉

 Oke 😉

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

——

 

 

Incurable DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang