40. Meet Astoria

219 29 2
                                    


Mengeluarkan isi lemari. Memilah, mencoba mix and match. Mematut di depan kaca lebih dari satu jam dengan pakaian yang berbeda tiap beberapa menit. 

Pilihan Rose akhirnya jatuh pada terusan span berwarna coklat khaki setengah paha, berlengan pendek. Memadunya dengan coat musim semi selutut warna ivory. Bertali serut di kedua sisi, kerah lebar, mempunyai satu kancing besar tepat di pusar. Kedua lengannya dilipat hingga ke siku. Untung dia punya boots pendek senada dengan terusan.

Kali ini pihak yang akan ditemui, sedikit banyak –kalau mau jujur– sangat memberi tekanan. Jadi dia harus memilih dengan cermat.

Rose punya spekulasi atas dasar apa, undangan tersebut ditujukan. Tak lain, karena Astoria tahu. Tentang hubungannya dengan Scorpius.

Bukan berarti Scorpius berbohong. Mungkin benar, dia belum menyebutkan namanya. Namun, bisa jadi Astoria menemukan petunjuk dalam surat-surat itu. Seperti, Scorpius menuliskan cirinya yang berambut merah, atau anak paling cerdas di Hogwarts. Apa pun yang menunjukkan jika itu seorang Rose Weasley.

Atau ... aduan. Dari Quinn Zabini, misalnya. Lily saja punya niat seperti itu. Kemungkinan Zabini melakukan hal serupa lebih besar. Ditilik dari beberapa bulan terakhir, Rose merasa tatapan Zabini semakin ... keji? Entah kata itu tepat atau tidak, yang bisa Rose yakini, kebencian Zabini makin besar. Ia tak akan kaget jika gadis itu ingin melontarkan salah satu unforgiven curse padanya.

Tentu ini hanya prasangka. Benar tidaknya akan ia ketahui nanti.

*

Tarik napas perlahan, tahan, hembus pelan-pelan. Lagi. Tahan, lepas. Sekali lagi. Rose mematung di sebrang bangunan megah yang berdesain seperti katedral. D'liciuse.

Jika tak salah ingat, umur bangunan ini bahkan belum menyentuh dua digit. Letaknya sejalur dengan Honeyduckes dengan jalan tempuh lebih panjang. Kawasan yang tidak ramah dengan isi kantong anak-anak. Karena itu tak akan ditemukan anak Hogwarts berkeliaran di sini.

Berusaha menguatkan tekad, Rose berjalan menuju pintu masuk. Jantungnya berdetak tak karuan. Sebelah tangan terkepal, sebelahnya lagi merenggut tali tas kuat. Sesaat sebelum tangan menyentuh pintu kaca, pintu itu terbuka sendirinya.

Pandangan Rose menyapu sekilas, hingga kemudian memaksa kakinya melangkah masuk. Dia agak tersentak saat seorang lelaki dewasa –mungkin sekisar ayahnya– berpakaian rapi seperti butler dalam film yang ditontonnya, sudah menanti.

Pria itu memindainya selintas. Mungkin menimbang apakah Rose layak disambut atau harus ditendang keluar. Dalam hati Rose memuji dirinya yang memutuskan berpakaian agak mewah, memoles sedikit make-up, dan membuat rambutnya lebih rapi dan jatuh dengan indah.

"Selamat siang, Miss," sapa pria butler itu dengan masih mengamati wajah baru tamunya. Gadis muda yang sendirian ke sini sangat langka.

"Siang."

"Anda sudah melakukan reservasi sebelumnya?"

"Atas nama Astoria Malfoy."

Semoga Astoria Malfoy tidak melakukan kejahilan atas undangan itu, hanya untuk mempermalukannya.

Alis si pria terangkat. "Ah!" Dari ekspresinya jawaban Rose diterima. "Miss Weasley?"

Rose mengangguk lega. Dalam hati dia langsung meminta maaf atas prasangka buruknya.

"Broze." Si butler kembali menyeru dengan nada rendah.

Suara 'poof' diiringi kepulan asap bergaung. Memunculkan sesosok peri pekerja.

"Hadir, Tuan Amalric," ucap peri itu dengan mode siap melayani. 

"Antar nona ini –Miss Weasley– ke tempat Mrs. Malfoy."

Incurable DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang