29. That Damn Gravel

222 25 9
                                    

Kingscross. Again.

Tahun-tahun sebelumnya, Rose sudah terbiasa mendengar kalimat, jangan terlibat dengan Scorpius Malfoy, dari ayahnya. Kali ini, ketika kalimat itu keluar di tengah deru kereta, Rose hanya bisa menanggapinya dengan menarik sedikit bibir. Diam-diam ia merasa agak bersalah. Terkesan seperti mengkhianati ayahnya.

"Hei." Albus muncul. "Kukira kau hilang di mana?"

"Aku bukan anak baru Al," tanggap Rose malas.

Rose sangat butuh ketenangan saat ini. Agak sulit berada di sekitar saudaranya yang lain, saat ia tengah menyimpan rahasia. Terutama Lily. Ia tak tahu sejauh apa rasa suka Lily pada Scorpius. Apakah hanya sekedar cinta monyet? Atau rasa kagum seperti idola? Apakah Lily akan terluka jika mengetahui hubungannya dengan Scorpius?

Berbagai pertanyaan berjubel. Karena itu ia butuh waktu dan tempat untuk menatanya.

"Kenapa kau lesu begitu? Karna tak bertemu Scorpius, heh?" goda Albus.

"Jangan ngawur!" Rose bertahan dengan kelesuan. Ia malah bersyukur orang itu sedang tugas prefek sebagai pengkoordinir anak baru. Bertemu dengan suasana hati seperti ini pasti tidak akan baik.

"Well, kau tahu? Kian hari aku masih saja terkejut dengan perubahan hubungan kalian."

Rose menumpu siku di atas buku tebal di pangkuannya. Ia memandang keluar jendela, dan tertawa sekilas. Wajah lesunya agak membaik.

"Yeah. Selamat kau tak sendirian. Me too Al," balasnya geli.

Albus masih ingat perkataan Scorpius dulu. Aku dan Rose Weasley harus saling membenci. Kalau tidak aku akan terkena penyakit tak tersembuhkan.

Dan sekarang, ajaibnya justru Scorpius yang lebih dulu mengambil langkah ekstrem. Memutar haluan 180° tanpa ragu. Di banyak kesempatan, sebenarnya Albus sudah merasakan ada yang aneh dengan cara sohibnya membenci Rose. Scorpius terlalu berusaha menampilkan aura 'aku benci Rose Weasley '.

Rentetan kalimat tak jelas itu juga masih tak terpecahkan sampai sekarang. Tapi setelah semua yang terjadi, bukankah kalimat itu benar-benar tak berarti apa pun. Apa itu dulu hanya omongan asal Scorpius?

Apa pun, sisi baiknya kini ia tak harus bersusah payah berdiri tepat di tengah garis antara sahabat dan sepupunya. Lagipula ia percaya dengan perasaan Scorpius. Secara, Albus sendiri sudah tahu rasanya benar-benar menyukai. Jujur, ia masih berharap hubungannya dan Mackenzie bisa seperti itu. Mereka memang telah banyak bicara. Dan Albus harus puas dengan status teman. Bukannya menyerah, ia hanya mengganti cara pendekatan.

"Oh, hai guys."

Sapaan itu agak menyengat Albus dari renungan. Indranya mendadak peka jika sudah berurusan dengan gadis ini.

"Hai Mack," sapa Rose balik.

Mackenzie, dengan lencana prefek di dada kiri sedang memegang satu set berkas yang entah apa.

"Sori, aku hanya ingin memeriksa jumlah kelengkapan murid. Kau tidak bersama saudaramu - maksudku saudaramu di Gryfindoor tadi," ralat Mackenzie setelah mengerling Albus sekilas.

"Ya. Aku sedang ingin ketenangan saja."

"Begitukah?" Mackenzie mencoret-coret berkasnya.

"Baiklah, sampai jumpa nanti Rose." Ada jeda sebelum ia menyapa Albus lirih. "Sampai jumpa, Albus."

"Ya. Sampai jumpa." Albus mengangkat tangan sedikit dan tersenyum seperlunya. Meski begitu ia tetap menatap sampai bayangan Mackenzie menghilang. Saat menarik pandangan, Rose menantinya dengan senyum iseng menyebalkan.

Incurable DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang