43. The Story

252 29 12
                                    


Perubahan suasana yang mendadak, membuat Rose lupa membawa soal Paman Harry yang berteman dengan Draco Malfoy. Entah ayahnya tahu atau tidak, tetapi seharusnya dia bisa menggunakannya sebagai argumen pendukung. Sayangnya, sudah terlanjur berlalu. Mengungkit itu sekarang adalah pilihan buruk. Karenanya, Rose harus bertemu sang paman untuk mendapat penjelasan.

Kesempatan itu datang, lima hari setelah ia mengirim surat. Paman Harry memintanya datang ke cafe di dunia muggle tempat mereka dulu pernah singgah. Setahun lalu saat liburan musim panas. Saat ia terpergok bersama Scorpius oleh Draco Malfoy.

Rose sudah mendudukkan diri di bangku cafe selama sekitar 10 menit. Menyeruput milkshake coklatnya--gelisah. Bolak-balik melihat antara jam dinding dengan pintu masuk. Kaki kanan terhentak-hentak. Menggambarkan ketidaksabaran.

Lonceng pintu berbunyi dan dia seketika mendongak. Mengembuskan napas besar pertanda lega.

"Maaf, terlambat," ujar pria sebaya ayahnya yang ia tunggu-tunggu.

Harry Potter dalam kaos hitam dibalut dengan kasual blazer dan celana jeans putih, segera menempati kursi di depan keponakannya.

"Tak apa Paman. Aku yang minta maaf, menganggu pekerjaanmu."

Harry mengibaskan sebelah tangan. "It's okey. Pekerjaan penting sudah selesai untuk sekarang. Jadi–earl grey saja, terima kasih." Ucapan Harry teralih sesaat pada seorang waitress yang menanyakan pesanan.

Dia mengulangi, "Jadi, ayahmu sudah tahu?" tanyanya retoris.

Rose mendesah. "Iyaa. Seperti yang kusampaikan di surat. Semua kacau. Ayah benar-benar marah dan aku masih tidak mengerti. Paman, dulu kau bilang akan ada di pihakku kan? Jadi, tolong buat ayah mengerti. Atau, setidaknya beritahu kenapa ayah begitu antipati pada Scorpius–dan keluarganya," tambahnya cepat karena mengingat luapan kemarahan ayahnya. Rose mengatupkan telapak tangan dengan siku bertumpu meja. Menunggu respon.

"Well ...." Harry menelengkan kepala dan menggosok tulang hidung di bawah kacamata bulatnya. "Apa Scorpius benar-benar baik padamu?"

Kening Rose berkerut. Ia memundurkan tubuh hingga menyentuh senderan kursi. Heran kenapa semua orang selalu mempertanyakan kebaikan Scorpius.

"Ya. Dia baik." Tapi Rose memutuskan menjawab setegas mungkin.

"Jangan salah paham." Tampaknya Harry menyadari ketersinggungan Rose. "Paman bukan meragukan- emm, mungkin memang. Ya, kau sendiri dulu sering bilang, kalau hubungan kalian itu hubungan sial dan sebagainya. Dan kau bahkan benci fakta ketika Albus akhirnya berteman dengannya."

Rose menggigit bibir bawah sekilas. "Memang. Tapi ternyata dia tidak begitu lagi. Oh!" Dia menepuk tangan sekali. "anggap saja hubungan kami seperti Kakek James dan Nenek Lily."

Kali ini Harry Potter yang mendesah. Dalam hati ia tidak sepakat. "Baiklah. Kita anggap demikian." Diseruputnya seteguk teh yang baru disajikan.
"Kau sangat menyukai anak itu?"

"Apa itu penting sekarang?" Rose tak bisa meredam nada gusarnya. Ia merasa pamannya terlalu berputar-putar. Yang ingin ia dengar adalah alasan kenapa ayahnya sangat menentang. Secara eksplisit. Dengan begitu dia bisa memikirkan langkah yang harus ia ambil.

"Baiklaah," ucap Harry diikuti tarikan napas yang cukup lama. Jika dia mengajukan pertanyaan lagi, kemungkinan hanya akan menyulut kemarahan keponakannya. Setelah mengintip sekilas pada jam yang melingkari pergelangan kiri dia berucap, "Tunggu lima belas menit lagi. Kita akan temui seseorang yang akan memberikan jawaban yang kau inginkan."

"Seseorang?" Alis Rose bertaut dengan kepala sedikit meneleng.

Harry meneguk untuk kedua kalinya. Lalu mengangguk. "Dia yang menawarkan diri untuk memberi penjelasan. Kau akan tahu nanti," tambahnya sebelum Rose kembali menyuarakan pertanyaan.

Incurable DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang