51. Fight the feeling

241 24 8
                                    

[💔]_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠^(⁠••✷_✷••)^⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_[💔]


Keadaan ini gila. Rose juga mungkin sudah putus akal. Sejak keintiman yang tercipta. Sentuhannya pada tubuh lelaki itu. Usapan Scorpius di tengkuknya. Ujung hidung yang bersentuhan. Hela napas yang saling terbentur. Tatapan. Itu semua menderingkan satu peringatan. Intuisi memberitahu kemana ini akan mengarah.

Otaknya memerintah untuk segera menjauh. Mengambil batasan yang jelas. Namun, sebagian dirinya menginginkan hal lain. Meleburkan jarak.
Keinginan yang menjadikan tindakannya setengah-setengah.

Dan ketika bibir mereka bersentuhan, Rose menyerah. Semua hal yang dia pusingkan hanyut dalam ... hasrat? gairah? nafsu? afeksi?
Persetan!

Hampir kehilangan gelang pemberian Scorpius, memporak-porandakan separuh keteguhan yang susah payah dibangun. Sebelum ini, dia berkeras, jika seiring waktu, bisa menghapus keberadaan lelaki itu. Suatu saat, lelaki itu hanya akan menjadi kenangan di masa remaja. Tapi ternyata, dia tidak sesiap dugaannya.

Jadi sekarang, ketika mereka saling menyentuh. Merengkuh. Rasanya seperti menemukan oasis setelah berkubang dalam pusaran pasir di tanah tandus. Sel-sel tubuh yang dahaga menjerit puas.

Rose ingin waktu berhenti. Membiarkan semua tetap seperti ini. Namun, itu di luar kuasa. Mereka tetap harus melepas tautan untuk menarik napas.
Kembali mengadu dahi dengan terengah. Rose memejamkan mata erat. Instan mengutuk diri.

Apa yang kau lakukan, bitch?! Idiot! Tolol!

Diturunkannya telapak Scorpius dari tengkuknya. Mengambil satu langkah ke belakang. Tanpa berani menatap, Rose berujar lirih, "Kita harus masuk ke kastil."

Detik-detik berlalu dalam kesenyapan. Sampai jawaban Scorpius mengalun dalam suara rendah yang serak. "Benar. Kita ... harus segera masuk."

Begitu persetujuan terucap, Rose langsung berbalik menuju pintu. Mengabaikan ucapan sampai jumpa yang diteriakkan Scorpius. Dibanding itu, ia lebih memikirkan bagaimana agar tidak bertemu muka besok.

Di tengah jalan, Rose mengubah niat. Tidak menuju great hall melainkan menaiki tangga ke asrama. Nafsu makannya sedang tidak ada. Lebih baik mandi lalu bergelung dalam selimut. Mari lupakan yang terjadi hari ini.

Ia kira asrama sedang kosong. Tetapi dari balik sofa depan perapian di common room, kepala berambut merah menyembul. Milik Lily Potter. Seketika Rose berjengit.

Well, ini awkward. Dia tak begitu ingat bagaimana hubungannya dengan Lily belakangan. Apakah ia masih dibenci atau tidak. Sejak bersitegang di The Burrow, Rose memilih membiarkan anak itu bersikap semaunya.

"What's up." Diluar dugaan Lily yang lebih dulu memecah kecanggungan.

"H-hei," balas Rose ragu. "Great hall?"

Kepala Lily tertoleh ke kiri-kanan. "Not in the mood." Mengedik ke arah bawah. "First day."

"Oh," nada Rose berubah khawatir. "Kau baik-baik saja?" Ia mulai menghampiri Lily dan duduk di sampingnya. "Sudah ke hospital wing?"

"Emm." Lily mengangguk. "Madam Pomfrey sudah memberi ramuan dan ini." Ia menunjukkan sebuah kantung kain yang tadi tertempel di perut.

Rose menebak isinya batu penghangat. Biasanya diberikan untuk anak yang mengalami nyeri haid, sebagai kompres.

"Baguslah," ujar Rose lega.

Suasana kembali canggung. Karena itu dia berniat naik ke kamar saja. "Kalau begitu--"

Incurable DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang