EMPAT PULUH LIMA

4.9K 295 5
                                    


"Bangkrut?" tanya Reza.

Di pagi hari yang cerah, setelah malam menyesatkan dan kesegaran para pria diiringi wajah kelelahan para wanita, mereka berempat sarapan bersama, duduk berhadapan dengan masing-masing pasangan. Ibu Reza tidak bisa bangun pagi karena terlalu lelah menjalani check up kemarin.

"Ayahmu ternyata membeli dua SPBU di tempat yang berbeda, dengan jaminan hotel yang ditangani putramu," Arka mengolesi selai stroberi di atas roti lalu memberikannya ke Nina. "Salah satunya dinyatakan bangkrut dan akan dilelang tapi karena hotel itu sebagai jaminan, ikut disita."

Nina yang kelelahan semalam karena aksi balas dendam suaminya, hanya bisa cemberut. Untung saja Reza berbaik hati menyediakan kamar untuk mereka, lebih tepatnya disamping kamar Reza. Arka benar-benar tidak tahu malu!

"Hotel mana?" tanya Reza.

"Hotel Jasmine dan Hotel Rose."

Vivi berhenti begitu kedua nama itu disebut, ia menatap Reza. "Hotel Jasmine, selama ini aku selalu disana lalu Rose itu hotel milik ayahku kan?"

Arka menatap takjub Reza. "Kamu sudah cerita semuanya?"

Reza tidak menjawab, ia hanya membiarkan Vivi membaca semua buku yang diperlukan di perpustakaan, dan ternyata buku buatan sendiri mengenai list bisnis dan sejarah keluarga yang selalu diperbarui setiap tahun untuk keturunan selanjutnya, dibaca Vivi juga.

"Bagaimana dengan nama pemilik SPBU? Bukankah mereka tidak bisa melakukan itu karena nama yang berbeda?" tanya Vivi.

"Sayangnya pihak bank tahu siapa Reza dan ayahnya, meskipun terkenal tidak akur tapi mereka tahu bagaimana sifat Reza yang menjaga nama baik keluarga," tukas Arka. "Hal itu dimanfaatkan oleh beberapa oknum."

Nina cemberut begitu mendengar perkataan suaminya. "Oh ya?"

Arka tertawa. "Kamu masih dendam semalam?"

"Kamu gila ya, gimana aku gak marah. Karena tidak mau kalah, kamu memaksaku melakukannya di luar pintu, bayangkan... mereka berdua belum menikah tapi punya sopan santun karena melakukan di dalam ruangan tapi kita yang sudah menikah malah melakukannya di luar ruangan dengan diawasi cctv," omel Nina.

"Setidaknya cctv rumah," sahut Arka.

"Aku akan mengambil video itu lalu menyebarkannya."

"JANGAN BERANI-BERANI!" ancam Nina dan Vivi ke Reza sambil mengacungkan garpu.

Reza tersenyum melihat Vivi yang mulai berani lalu mencium lehernya.

Arka dan Nina jijik melihatnya.

"Vi, cinta tak selamanya indah. Jangan tergoda," saran Nina ke Vivi.

Vivi tersenyum canggung lalu bertanya ke Arka. "Bukankah kalian berdua bermusuhan? Kenapa kamu memberikan info sepenting itu ke kami?"

Arka menghabiskan makanan di mulut. "Kamu tahu, SPBU yang dibeli ayah Reza itu dulunya milik ayahku yang dijual oleh adik ayahku, jadi bisnis keluargaku tidak hanya di bidang hospitality. Permasalahan disini, jika keluar pernyataan pailit, mereka akan menyelidiki keluargaku juga karena keluarga ayahku dulunya banyak yang tidak beres."

"Kenapa adik ayah bisa menjualnya?" tanya Vivi yang tidak mengerti.

Reza memberi penjelasan dengan sabar. "Bisnis keluarga Arka ada banyak bahkan keluarga besarnya berkecimpung di dunia politik meski tidak sebesar dulu, ayah kandung Arka sama seperti ayahku, suka main wanita dan menghabiskan banyak uang tapi mereka sama-sama hebat menjalankan bisnis, bedanya ayah Arka anak sulung sementara ayahku hanya menantu. Jadi kamu bisa bayangkan bagaimana mereka berdua bisa bertahan hidup."

Arka mengangguk setuju. "Ayahku terlalu dimanja nenek sebagai kepala keluarga jadi tidak ada yang berani menghalanginya sampai mati, waktu itu benar-benar kacau, kepentingan pribadi di politik dan bisnis bercampur menjadi satu. Om Hendra berhasil mengatasinya dengan menjual beberapa aset bisnis ayahku yang bermasalah, lalu menyerahkan bidang hospitality terlebih dahulu kepadaku."

Nina melanjutkan. "Ya, setelah profesor Hendra menyelesaikan masalah satu persatu baru menyerahkan sisanya ke suamiku. Hanya saja ternyata profesor kelolosan satu atau dua masalah sehingga suamiku harus menyelesaikannya sendiri."

"Itu maklum karena om hanya dokter," sahut Arka.

Vivi mulai mengerti. "Dan salah satu masalahnya adalah SPBU ini."

"Tepat." Arka dan Nina menjawab bersamaan.

"Sebenarnya keluarga kita hanya bersaing di bidang hospitality sejak dulu tapi karena ada orang yang melempar minyak untuk menimbulkan api, jadinya kami memutuskan menyebar berita permusuhan." Arka mengangkat kedua bahu dengan santai.

Nina memutar kepalanya. "Aku baru tahu itu!"

Vivi mengangguk mengerti lalu menceritakan rencananya ke Reza. "Aku ingin mengambil rumah sakit tapi aku buta manajemen rumah sakit milik ibuku, apakah kamu punya rekanan yang bisa membantuku?"

Reza cepat menjawab. "Aku akan bertanya ke Adelio, dia mengejar calon janda, anak pemilik rumah sakit. Siapa tahu dia akan membantu."

Arka terbelalak. "Hah?! Dia pemilik bisnis hotel jugakan?"

"Ya, sama dengan kita." Angguk Reza laku mengingatkan Vivi, "Jangan lupa, kamu juga penerusku."

Vivi memiringkan kepalanya. "Tapi menjalankan dua bisnis berbeda itu sulit, bagaimana bisa aku melakukannya bersamaan?"

"Cukup lahirkan anak-anakku, semalam aku tidak memakan kondom, harusnya itu cukup sebagai permulaan." Reza menjawab tanpa malu.

Vivi, Nina dan Arka tersedak lalu terbatuk-batuk mendengar jawaban tak tahu malu Reza.

"Za!" Panggil Arka dengan jijik.

Nina meletakan rotinya di atas piring dengan wajah masam.

Kepala Vivi menunduk malu.

Nina mengalihkan pembicaraan. "Besok acara pesta amal, aku dengar kamu keluar bersama istri dan anak-anak."

Reza menatap Vivi. "Sebelum itu, aku ingin kita mendaftar pernikahan hari ini."

Vivi mengangkat kepala dan menatap Reza dengan terkejut. "Sekarang?"

"Semalam kita sudah melakukannya, kenapa harus diundur lagi?" tanya Reza.

"Aku-"

"Aku akan membantu menikahkan kalian, lebih baik kalian menikah sebelum pesta amal. Aku punya ide menarik untuk memanasi istri dan kedua anakmu." Seringai Nina.

---

"Ibu, lihat! Bagaimana gaun yang aku beli semalam?" Erika menunjukan gaunnya ke Rosaline begitu masuk ke kamar Almira.

Rosaline yang sedang mengagumi gaun Almira, menjadi cemberut begitu melihat gaun Erika. "Kamu tidak memperhatikan gaun yang kamu pilih?

Almira memperhatikan gaun Erika yang terlalu terbuka di punggung dan paha. "Ini acara amal, tidak pantas memakai gaun seperti itu."

Erika duduk di sofa dengan wajah cemberut.

"Kita masih punya waktu buat beli gaun." Almira menghibur Erika.

"Gaun ini dibelikan kakek, kartunya sudah aku kembalikan. Ibu juga tidak punya uang banyak."

"Bagaimana kalau minta ayah?" tanya Almira.

"Ayah?" Erika melirik cemas ibunya.

Rosaline mengangguk cemas. "Dicoba dulu hubungi ayahmu, gaun ini kamu pakai saat ulang tahun saja. Minta ayahmu belikan gaun untuk pesta amal besok, ini acara keluarga."

Erika mengangguk lalu keluar dari kamar Almira secepat kilat.

Rosaline menghela napas berat. "Semoga suamiku mau menolong putrinya."

Almira menenangkan ibu mertuanya. "Tenang saja, pasti akan didengar. Buktinya Erika bisa merayakan ulang tahun sweet seventeen meski agak terlambat."

Rosaline tersenyum lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda bersama Almira.








Off Course, I can't get you! But, I Can Get Your Dad! : Sweet Girl Version [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang