TUJUH PULUH TUJUH

3.8K 276 6
                                    

Erika hampir gila melihat semua koleksi perhiasan dirinya dan ibu sudah tidak ada, bahkan gaun mewah diambil mereka. Untung saja mereka masih berbaik hati tidak mengambil handphone miliknya.

Erika menangis dan menenggelamkan wajahnya di bantal. Semenjak kakek dan ibu meninggal, semuanya berubah. Andaikan mereka masih hidup, aku sekarang sudah melewati ulang tahun dengan bahagia dan tidak perlu menangis seperti ini.

Kriiiing

Erika buru-buru membuka handphone. "Hallo, kakak?"

"Erika, kamu baik-baik saja disana?"

Air mata Erika mengalir. "Kakak ipar? kakak dimana?"

"Kakak kamu sibuk bertemu orang-orang, kamu baik-baik saja?"

Erika menghapus air mata dan mulai bercerita.

Setengah jam kemudian, setelah selesai bercerita. Erika mengobarkan kebencian ke Vivi. "Andai saja ayah tidak membawa anak itu masuk ke dalam rumah- pasti aku- aku-"

"Sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi. Kamu coba bertemu teman-temanku, mungkin mereka mau bantu kamu."

"Bantu bagaimana?"

"Yah, setidaknya kamu harus sedikit menyenangkan mereka."

Erika langsung mengerti perkataan Almira. "Kakak ipar ingin menjualku?"

"Terus mau bagaimana? selama ini kakak dan ibu kamu sudah berkorban banyak untukmu, sekarang kamu harus menggantinya. Ingat, kakak kamu sekarang lebih memilih jalur politik daripada pengusaha. Jangan merusak karier dia, lagipula jika kamu mau berkorban sedikit- kakak kamu pasti akan bahagia."

Erika menimbang sebentar lalu mengiyakan. "Oke, aku ke sana."

"Akan kukirim alamatnya." Almira memutus sambungan telepon.

Erika berdoa dalam hati, semoga ini jalan yang terbaik.

Jam sembilan malam, Erika masuk ke dalam sebuah rumah mewah yang di dalamnya berjejer mobil-mobil mewah seharga di atas satu milyar.

Erika yang sudah mengambil uang operasional hotel untuk membeli gaun, sepatu dan tas baru yang total harganya tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah melihat sekeliling ruangan yang ramai dan sedikit sesak.

Banyak terlihat pasangan berciuman lalu bermain di dalam air dan desahan-desahan yang Erika tidak berani mencari asalnya.

"Erika Hutama?"

Erika menoleh. "Y- ya?"

Pria berusia sekitar empat puluh tahun ke atas dengan tubuh gempal dan wajah berminyak sedang menilai Erika dari atas ke bawah.

"Ya, saya sendiri." Erika menggigil ketakutan, ingin kabur dari tempat ini.

"Ikuti saya!"

Erika mengikuti pria itu yang sudah naik ke tangga.

Malam ini tanpa diketahui adalah malam neraka bagi Erika, harus melayani banyak pria dengan teriakan memekakkan telinga. Semakin kencang Erika berteriak, semakin kencang mereka bergerak.

---

Vivi dan Reza memutuskan berkumpul dan menginap di rumah Arka, mereka menyelesaikan sholat tarawih bersama.

"Tidak ada acara pengajian?" tanya Nina.

"Tidak, suamiku menyumbang ke panti asuhan dan minta tolong mendoakan kedua orang tuanya yang meninggal." Jawab Vivi.

Nina mengangguk mengerti. "Yah, tidak ada yang menyalahkan kalian. Semoga ini jalan terbaik."

Arka dan Reza yang jalan di belakang mereka, bertanya. "Keluarga Hutama berhutang milyaran, ide cerdik melepasnya begitu saja dan rumah sakit milik keluarga nenek Vivi jadi aman semenjak merger di bawah sayap keluarga Kinara. Tapi apa kamu tidak merasa sayang? bisa dibilang keluarga Hutama ikut andil menopang bisnis kamu."

Off Course, I can't get you! But, I Can Get Your Dad! : Sweet Girl Version [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang