DUA PULUH ENAM

6.3K 404 9
                                    


Apa yang menyakitkan dari cinta adalah pengorbanan, satu paket yang tidak bisa diutak atik oleh pemilik. Jika pengorbanan tidak berharga maka cinta tidak ada apa-apanya.

Pasangan yang saling menyakiti tanpa sadar dari perasaan berkorban, menghasilkan korban yaitu anak-anak. Tanpa sadar orang-orang dewasa bertindak menjadi korban tanpa memahami perasaan anak.

Padahal anak-anak tidak ingin melihat wajah sedih salah satu orang tuanya, buat apa bertahan jika kita hidup bersama orang gila?

Begitulah yang dirasakan Edward sekarang ketika berdiri di depan pintu kamar kelas 1. Body guard berjaga tidak jauh dari kamar supaya tidak menarik perhatian orang-orang, cctv pun dipasang di dalam kamar.

Edward yang mendengar ayah kandungnya terluka dari Daichi, segera keluar dari sekolah dan pergi bersama Daichi. Tapi yang terjadi malah tanpa sengaja melihat pemandangan menyebalkan.

Adit memeluk pinggang Cynthia sementara Cynthia berusaha menghibur Adit. Rentetan sumpah serapah menghina mamanya keluar dari mulut kakak dan ibu Adit, diiringi komentar dari kakeknya.

Edward masuk ke dalam kamar bersama Daichi di belakangnya. "Kalau kalian tidak menyukai mama, sebaiknya keluar dari rumah yang dibangun mama sekarang juga."

Semua orang menoleh.

"Ed." Adit mengerutkan dahi lalu tersenyum. "Kenapa kamu ada disini, apakah Ed merindukan papa?"

Daichi menertawakan kelakuan Adit.

Edward menatap tidak percaya Adit. "Pa, apa papa sudah tidak sayang mama lagi?"

"Edward, jangan ikut campur! Ini urusan orang dewasa!" bentak Adit.

"Lalu anak-anak tidak boleh tahu? Kami kamu anggap sebagai apa?!" teriak Edward.

Adit berdiri dan menonjok pipi kiri Edward hingga jatuh tersungkur, Daichi segera menolong sepupunya.

"AKU INI PAPA KAMU! SELAMA TINGGAL BERSAMA MAMA KAMU, APAKAH SUDAH MELUPAKAN SOPAN SANTUN?!"

"Berhenti!"

Adit menoleh dan melihat Kenzi yang duduk di kursi roda, sudah di depan pintu. Dia tertawa mengejek. "Anak cacat, apa yang kamu lakukan disini?"

Kenzi terkejut dengan ucapan Adit. "Pa- papa?"

Adit menendang kursi roda Kenzi ke samping hingga terjatuh lalu menyisir rambut ke belakang dengan tangan kanan sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

Edward dan Daichi segera mendekati Kenzi.

Kenzi masih shock dengan tindakan papanya.

"Papa memang sayang dengan mama kalian tapi jangan pernah mengharapkan cinta, cinta papa hanya untuk Cynthia dan anak-anaknya," kata Adit. "Kalian itu hanya bonus yang papa berikan untuk mama kalian."

Kedua mata Kenzi berkaca-kaca. "Pa-"

"Hei, jangan panggil putraku papa dari anak tidak tahu malu, harusnya kamu sadar diri. Anak cacat tidak akan menghasilkan apapun!" bentak Maya.

Kenzi masih mengharapkan pembelaan dari papanya, tapi yang didapat adalah tatapan tajam.

"Seharusnya kamu berterima kasih telah lahir di keluarga kaya, setidaknya kami sudah berusaha menyembuhkan kaki kamu yang cacat."

Ana tertawa mengejek.

"Lalu kenapa Kenzi dilahirkan kalau papa menghina kaki ini?" tanya Kenzi yang masih tidak mengerti.

"Sejak ketahuan kamu cacat di dalam kandungan, papa menyarankan untuk  aborsi. Tanya saja ke semua orang disini, papa sudah menyuruh mama kalian aborsi, tapi ternyata dia mempertahankan kamu." Adit melebarkan tangannya.

ARE YOU DONE, MY DEAR? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang