TUJUH PULUH DUA

3.6K 323 1
                                    

Setelah di pagi hari bertemu dengan Hendra lalu di siang harinya menemani Nara di kamar Adelio. Saat ini Fumiko duduk berdiskusi dengan Dimas dan Reiko.

"Tadi pagi om Hendra memanggilku, memberikan informasi soal penangkapan Nara."

"Nara ditangkap untuk apa?" tanya Dimas yang masih bingung.

"Dimas, apa kamu lupa soal bpk? atau Adelio tidak beritahu kamu? sepertinya saat Nara hilang ingatan, Adit memanfaatkan Nara sebagai pemilik perusahaan sekaligus penanggung jawab perusahaan yang ditangani Adit, ayah Adelio, kakak ipar Adit dan masih banyak lainnya." Reiko menjelaskan pada Dimas.

Dimas mengerutkan kening dengan kesal lalu melirik istrinya. "Kenapa kamu tidak telepon aku dulu supaya bisa berhadapan dengan orang itu? berkat pesta amal, aku harus mengeluarkan uang banyak."

"Hei, rumah sakit kamu tidak akan bangkrut! ada bank milik keluarga istri kamu!" kata Reiko.

Dimas menatap Reiko. "Kakak ipar tercinta, masalahnya bukan uang tapi memang ada unsur uangnya. Ini masalah reputasi, jika rumah sakit berhasil ditekan keluarga Tsoejipto, keluarga Salim bisa dalam bahaya."

"Apa yang dikatakan suamiku benar, grup Tsoejipto merupakan grup terbesar dan memiliki sejarah panjang di Indonesia, mereka pasti punya musuh dan suatu waktu bisa saja ada yang memanfaatkan kita untuk menjatuhkan grup itu. Bank keluarga kita juga riskan terseret karena usaha yang dimiliki orang asing."

Reiko menghela napas panjang. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? ini masalah bpk, gak bisa main-main."

"Ingatan Nara juga sudah kembali, aku khawatir dia akan melakukan sesuatu di luar rencana kita," cemas Fumiko.

Dimas paham jalan pikiran Fumiko. "Soal balas dendam?"

Reiko mengangguk setuju. "Ya, Nara pasti akan balas dendam pada Adit dan keluarganya, ngomong-ngomong apa kamu sudah memberitahu ke Nara soal kematian ayah kandung Adelio?"

Fumiko menggeleng pelan. "Di masih shock dan menemani Adelio terus, jadi aku gak berani."

"Nara sekarang sama siapa?" tanya Dimas.

Fumiko tersenyum sedih. "Om Hendra ingin bertemu dengan Nara."

Dimas bangkit. "Kamu gila? Nara bisa-bisa-"

Reiko menarik lengan kemeja Dimas untuk duduk. "Kita memang keluarganya, biar Nara yang menghadapi langsung. Ini resiko mereka, lagi pula mereka Ade dan Nara memang masih membutuhkan si kepala keluarga."

Dimas yang melihat istrinya masih duduk tenang, kembali duduk meski hatinya kacau.

-----

Tok! Tok!

Kinara mengangkat kepalanya saat bersandar di tepi tempat tidur Adelio, melihat sosok kepala keluarga yang dikenal membuatnya gemetaran dan menggenggam erat tangan si suami.

Hendra melihat tangan Kinara yang menggenggam erat Adelio. "Jadi, kamu benar-benar sudah ingat?"

Kinara ragu, lalu mengangguk.

Hendra berdiri di samping tempat tidur Adelio, berseberangan dengan Kinara yang duduk di kursi roda. Dia melihat kondisi keponakannya. "Dulu saya mengenal pertama kali Adelio saat tubuhnya kurus, pemikir keras dan lebih banyak mengalah demi ibunya karena takut si ibu sakit lebih dalam."

Hendra berdiri tegak lalu menatap lurus Kinara. "Apa kamu sadar sekarang mengenai keegoisan kamu selama ini?"

Kinara terperangah lalu menundukkan kepala, tidak berani menjawab.

"Kamu menganggap sifat Adelio itu sangat romantis, heh! hanya orang bodoh yang masih menganggap cinta dengan pengorbanan satu pihak itu romantis."

"Tapi, saya-"

ARE YOU DONE, MY DEAR? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang