Bab 19

13.5K 1.8K 65
                                    

"Apa ... ini soal yang terjadi di pesta tadi?"

Alenda menggeleng. "Bukan hanya saat di pesta, tapi selama ini aku sudah memperhatikanmu. Kau selalu merendahkan dirimu sendiri, kau jadi menyetujui pikiran mereka tentangmu."

"Tapi itu kan benar, Alenda. Aku hanya mencoba mengatakan kenyataannya."

Alenda semakin kesal dibuatnya. Dia belum pernah bertemu pria seperti Gavier. "Hei, realistis memang perlu, tapi kau harus ingat siapa yang selama ini bertahan bersamamu di saat kau kesulitan? Ya dirimu sendiri!"

Gavier tertegun, dia tak pernah memikirkan itu sebelumnya. Selama ini dia berpikir bahwa itu adalah suatu keharusan.

"Apa kau mau menjadi kacang yang lupa kulitnya? Orang yang selalu menemani dalam suka dan duka adalah dirimu sendiri. Kau harus selalu berterima kasih padanya!"

Gavier menunduk. "Berterima kasih ... pada diri sendiri?"

Sebagai anak yang terlahir di lingkungan sehat dan orang tua yang selalu memberinya banyak cinta, Alenda jadi sadar bahwa punya mental baik merupakan pondasi utama dalam kesehatan. Mental baik itu dimulai dengan mencintai diri sendiri.

"Selama ini, apakah kau pernah mencintai orang lain?" tanya Alenda. Sontak pipi Gavier memerah. Membayangkan dirinya bisa bersama orang lain saja tidak berani.

"Ti--tidak."

"Itu karena kau tidak bisa mencintai diri sendiri, sehingga kau tidak berani mencintai orang lain."

Apa yang dikatakan Alenda benar, Gavier menyetujuinya.

"Itu tidak semudah saat dikatakan, Alenda," kata Gavier. Dia mulai mengingat berbagai hal buruk yang sudah dia tanggung mati-matian sejak kecil. Menerima orang baru dalam hidup itu sangat sulit. "Jangan memintaku menghadapinya daripada menghindarinya--"

"Kau harus menghindarinya kalau bisa, kenapa repot-repot menghadapinya?"

Gavier terdiam. Dia terkejut dengan pertanyaan Alenda.

Lantas Alenda mengambil pedang yang Gavier pegang lalu diletakkannya di atas rumput. Dia ikut berlutut di depan Gavier. "Gavier."

Gavier masih bungkam, dia ingin mendengar apa yang akan dikatakan Alenda.

"Kalau merasa sulit, kamu boleh kabur. Nggak pa-pa."

Bola mata Gavier berkaca. Seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam hatinya. Seolah kegelapan yang menyekik lehernya atau beban yang menumpuk di kedua bahunya mulai menguap secara bertahap.

"Aku ... waktu itu tidak tau masalah apa yang kamu hadapi sampai mengatakan kalau kamu egois karena kabur setelah menyerahkan tanggung jawab padaku. Tapi setelah menjalaninya sendiri sebagai seorang ratu, aku tau bagaimana rasanya menghadapi tekanan setiap hari." Alenda menghela napasnya. "Dan itu tidak mudah."

Gavier tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca seperti akan menangis. "Maaf."

"Kenapa kamu tersenyum?" tanya Alenda.

Harusnya dia menangis dalam keadaan sesak, bukan tersenyum seperti orang bodoh.

"Karena ... kebih baik daripada menangis?" Gavier kembali tersenyum, berusaha memaksa dirinya agar terlihat kuat di depan Alenda. Kini topengnya seolah tak berguna sedikit pun di depan istrinya.

Kemudian Alenda mendekat, melepas ikatan tali topeng penutup mata di belakang kepala Gavier. Sekarang dia bisa melihat bagaimana ekspresi Gavier yang sebenarnya.

"Menangislah kalau ingin menangis, bukan malah tersenyum. Apa kau bodoh?"

Gavier mengalihkan pandangannya. "Seorang raja tidak boleh menangis."

The Beast & His SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang