Chapter #02

136 13 5
                                    

"DARI mana saja?"

Langkah Langit benar-benar terhenti ketika mendengar suara bariton pria paruh baya menegurnya. Langkahnya terhenti tepat di anak tangga ke-5 sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menoleh. Menghadap Daddy yang berdiri tepat tak jauh dari anak tangga pertama. Menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

Langit hanya diam saja. Menatap mata saja dia tidak berani.

"Daddy tanya kamu dari mana?!" bentak Ashok menekankan setiap kalimatnya.

Langit terus menunduk.

"Kamu nggak denger apa yang Daddy katakan?"

"Denger, Dad."

"Ini sudah jam berapa?" tanya Ashok sambil melihat jam tangannya. "22.54. Kenapa baru pulang? Darimana saja kamu?"

Setengah terbata, Langit menjawab, "Dari nongkrong sama temen-temen, Dad. Tadinya Langit mau nolak. Tapi mereka bilang ini pesta karena juara umum turnamen basket."

Plak!!

Satu tamparan sukses mendarat di pipi kanan Langit hingga membuat air matanya tumpah saat itu juga. "Sorry, Dad," ujar Langit dengan sangat lirih sambil menggigit bibir agar suara tangisnya tidak tumpah semakin deras. Mereka bilang cowok tidak boleh menangis.

"Daddy nggak mau hal semacam ini terulang. Daripada nongkrong nggak jelas sama anak-anak miskin itu. Lebih baik kamu belajar. Daddy nggak mau peringkat kamu malah turun hanya karena basket, musik atau kegiatan bodoh kayak gini lagi." Ashok benar-benar terlihat marah. Matanya memerah penuh dengan kemarahan. Sedangkan Langit hanya bisa meremas tasnya untuk menahan amarah di hatinya.

"Sorry, Dad."

Langit bergegas berlari ke lantai atas, sambil mengusap air matanya yang jatuh tanpa izin. Melihat sekilas anak kesayangan Daddy, Artha, berdiri tak jauh darinya. Artha yang merupakan anak kesayangan Daddy sekaligus kakaknya turut melihat ketidakberdayaan Langit.

"Makan dulu," teriak Artha dari tempatnya.

Langit hanya bisa menoleh bahkan terkesan tidak mempedulikan Artha.

Kejadian semacam ini sebenarnya tidak pertama kali terjadi. Langit selalu menjadi korban atas ambisi Daddy untuk menjadikan-nya sebagai salah satu pebisnis muda yang berpengaruh di Indonesia. Dia meminta kepada Langit untuk menjadi seorang yang lebih ambisius, dengan belajar, juara satu di sekolah, juara di berbagai macam kegiatan. Termasuk olahraga, basket bukan satu-satunya cabang olahraga yang Langit ikuti. Ada juga renang dan dia selalu mendapatkan piala penghargaan di setiap turnamen.

Pada akhirnya Langit selalu berambisi untuk menjadi yang pertama. Dia tidak mau cambuk Daddy menggores kulitnya. Seperti saat ini, dia selalu ketakutan ketika melihat Daddy murka.

Langit menghempaskan tubuhnya ke ranjang ketika mendapati ponselnya berbunyi. Dua pesan masuk dari Senja, membuatnya semakin menangis. Dia tidak tahan dengan semua tekanan ini yang hampir membuatnya depresi. Mungkin alasan Langit untuk tetap bertahan adalah Senja.

[Udah tidur?]

[Aku nggak bisa tidur nih. Tiba-tiba mikirin kamu]

[Cie yang nggak bisa ditinggal sendiri]

[Aku nggak becanda ya Lang.]

[BTW... Km gpp kan]

[I'am ok]

[Tapi kenapa q jadi kepikiran banget ya.]

[Itu karna km sayang banget sama aku]

Langit kembali mengusap air matanya yang kembali keluar dengan sangat deras. Senja selalu menjadi orang yang paling khawatir tentang keadaannya.

Bittersweet : Langit, Senja dan Fajar [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang