Chapter #46

17 3 0
                                    

CENGKRAMAN erat di lengan Fajar membuatnya menoleh. Tatapannya bertemu dengan Ayah yang tiba-tiba memegang dadanya. Fajar mengernyit ketika menyadari Ayahnya menahan sakit untuk tetap bertahan berdiri di sampingnya. Sebelum kemudian ambruk begitu saja, menyisakan kebingungan di kepala Fajar.

Ayahnya terjatuh di antara banyak orang yang saat itu sedang menunggu antrian pelayanan rumah sakit. Beberapa orang ikut bangkit menolong Fajar yang kemudian panik melihat kondisi Ayah.

Beberapa perawat rumah sakit bergegas memberikan pertolongan pertama. Salah satu dokter yang saat itu sedang berjaga langsung berlarian setelah mendapatkan laporan darurat.

Sedangkan Fajar hanya bisa terpukul... Kakinya begitu berat digerakkan ketika Ayah mulai didorong menggunakan brankar menuju IGD. Dunianya runtuh ketika mengingat kejadian itu, dimana Ibunya juga pernah mengalami kejadian yang sama. Sama persis seperti yang dia saksikan saat ini.

Begitu Ayahnya mendapatkan penanganan. Fajar terduduk di lantai. Wajahnya terlihat sangat kacau. Beberapa menit yang lalu dia duduk di ruang tunggu untuk memeriksakan keadaan Ayahnya yang selalu mengeluh mengenai sakit di dadanya.

Fajar merasa dia anak yang tidak berguna. Satu persatu yang dia sayang pergi meninggalkannya. Dengan wajah setengah kacau, kini Fajar hanya terdiam. Membiarkan dokter menangani ayahnya. Persis seperti kejadian yang dia lihat sekarang. Dimana dokter sudah menutup pintu. 

Tak lama dokter keluar. Bersama perawat di sampingnya. Sebelum mengarahkan pandangan ke arah Fajar yang sudah ambruk di lantai. Sayup-sayup terdengar, dokter itu meminta kepada perawat untuk menghubungi Dokter Ray. Entah siapa itu, kini Fajar hanya bisa menunduk berderai air mata. Menyadari kalau kondisi Ayahnya sangat buruk.

"Keluarga pasien?" tanya Dokter entah siapa namanya yang diabaikan oleh Fajar. "Maaf, Mas. Dari keluarga pasien?" tanya suster di samping dokter itu, kini ikut jongkok untuk mendapatkan jawaban.

"Gimana keadaan ayah saya, Dok?" tanya Fajar dengan suara yang sedikit tercekat. Bersamaan dengan itu wajahnya memucat.

Suara tangisan akhirnya memecahkan keheningan di antara kedua manusia itu. Sang dokter hanya bisa menunggu sampai tangis berhenti, sedangkan Fajar hanya bisa menangis semakin histeris, meskipun tidak ada suara dalam tangis itu.

Perkataan orang-orang di sekitarnya tidak didengarkan. Bahkan suara dokterpun sama. "Saya butuh tanda tangan anggota keluarga untuk melakukan tindakan." Itulah kalimat yang pada akhirnya tertangkap oleh telinga Fajar. Hingga akhirnya dia menutuskan untuk bergegas berdiri untuk menandatangani kertas putih sebagai syarat administrasi.

****

WAJAH Fajar terlihat semakin kacau ketika dia mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi ayahnya. Reflek mengacak-acak rambut karena sangking khawatirnya. Terlebih ketika Dokter mengatakan ayahnya harus menjalani operasi untuk jantungnya.

Fajar memperhatikan infus yang terpasang di tangan ayahnya. Sambil menunduk dia menggenggam erat tangan ayahnya itu. Yang dulu tidak pernah bisa dia lakukan ketika Ibunya terbaring sakit. Kini dia tidak mau menyesal lagi.

"Nak, Fajar???!" panggil Ayah terbata-bata.

Fajar semakin mendekat. Menggelengkan kepala meminta ayahnya untuk tidak banyak bicara. Tiba-tiba Fajar mendapatkan remasan kecil dari ayahnya.

"Yah, sakit?"

Jantung Fajar kembali berpacu lebih keras lagi ketika Ayah menganggukkan kepala tertakzim.

"Mau Fajar panggilkan, Dokter?"

Ayahnya semakin menggenggamkan tangan. Kemudian menggeleng. Bibirnya hendak berucap, namun Fajar cegah. Dia memilih untuk memanggil dokter ataupun perawat menggunakan tombol panggil.

Bittersweet : Langit, Senja dan Fajar [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang