Chapter #57

62 4 0
                                    

LANGIT hanya bisa diam menatap jalanan di depannya. Menghapus air mata yang sejak tadi keluar. Raut sedih sepertinya masih terlihat di wajah Langit. 30 menit kira-kira dia keliling Jakarta untuk menghapus air mata yang masih keluar. Ditemani Tania yang sedaritadi memilih untuk diam. Tidak berbicara sedikitpun. Kalaupun bicara, itupun cuman mau merutuki pengguna jalanan yang semakin malam semakin ugal-ugalan.

Dan pada akhirnya Langit mulai diam. Menangis membuatnya capek. Terlebih ada cewek di sampingnya. Itu terdengar sekaligus terlihat sangat memalukan.

Sosok cewek di sampingnya. Dengan segala penolakan yang dulu pernah diterimanya. Membuat Langit diam-diam tersenyum, bagaimana bisa Tania menghadapi penolakannya. Menghadapi betapa sakit hatinya ketika cinta ditolak. Kagum sekaligus bingung.

Semua pikiran itu membuat Langit kembali menunduk. Tidak membayangkan.

Ingin sekali Langit bertanya kepada Tania kenapa Tania terus mencintainya. Ingin juga bertanya kenapa tidak pergi saja mengingat cintanya tak pernah berbalas. Bertanya lagi kenapa masih bertahan dalam ketidakpastian yang malah merajut mimpi dan mungkin itu tidak akan pernah tercapai. Sayangnya lidahnya benar-benar keluh setelah menangis.

Andai saja dia bisa mencintai sosok di sampingnya. Itu akan lebih mudah. Toh Tania tidak jelek-jelek amat. Tentu saja penampilannya good looking. Hanya beberapa minus terlihat, Tania bukan orang yang bisa menyembunyikan kebenciannya. Seperti saat ini saja, gadis itu masih memandang kesal jalanan dengan raut muka setengah kesal.

"Kita berhenti di depan setelah ini, ada orang jual es cream. Biar adem."

Tania menoleh. Mengernyit sebelum akhirnya menganggukkan kepala menyetujui.

Berhenti di depan gerobak sepeda kecil penjual es cream. Bukan sejenis cafe, itu hanyalah pedagang kaki lima yang kebetulan mangkal di sana. Tidak ada pembeli, lagian siapa malam-malam yang mau beli es cream kemasan.

"Lo mau juga?" tanya Tania menoleh ke arah Langit yang saat ini duduk di kursi panjang penjual bakso. "Mau sekalian baksonya juga yang pedes?"

"Boleh," jawab Langit malas-malasan.

"Mang, baksonya. Dua porsi."

Langit memainkan jemarinya sembari menunggu Tania memilih es krim.

"Ini." Mengulurkan es krim warna pelangi untuk Langit. "Gue rasa lo bukan orang yang suka dan addict banget sama yang namanya coklat. Makanya gue pilih yang itu."

"Thanks."

Tania menggigit es krimnya sambil mengernyit merasakan dingin di giginya. Tidak lama bakso pesanan mereka datang.

"Muka lo kelihatan banget kalau habis nangis," ledek Tania.

Langit menoleh. Menghapus bekas air matanya.

"Gue udah kek tersangka yang buat lo nangis. Sedih banget nasib gue yak."

Langit hanya diam saja. Sama sekali tidak merespon. Sebelum akhirnya memutuskan untuk segera menghabiskan es krim, beralih ke bakso. Menuangkan cukup banyak sambal hingga membuat Tania menelan ludah.

"Namanya cari penyakit ini sih, Lang. Haduh, kalau sakit, gue nih yang repot. Gue tersangka yang bawa lo ke tempat ini," gerutu Tania. "Tapi nggak papa sih daripada lo sedih terus."

Langit terkekeh untuk yang pertama kalinya. "Jadi lo nggak masalah kalau lo jadi tersangka yang ngebunuh gue nanti kalau gue sandainya mati?"

Tania menonyor kepala Langit. "Aduh mati karna love thing itu nggak banget, Lang."

"Namanya juga cinta, Ta. Siapa yang bakalan bisa cegah."

"Ya, emang kayaknya lebih enak mati ya," guman Tania. "Tapi gue maunya masih hidup, Lang. Nanti siapa yang gue bucinin kalau lo tiba-tiba mati? Nggak mau gue kalau Arya doang. Gue kan kenalnya cuman sama kalian doang."

Bittersweet : Langit, Senja dan Fajar [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang