"Tumben kelihatan bete banget."
Senja menoleh ke arah sumber suara. Langit duduk tepat di sebelahnya sambil menenteng tas sekolah dan satu lagi kertas di tangannya. Senja hanya melihatnya sekilas lalu berlalu. Kembali memandang kosong kedepan.
"Ujian gimana?"
"Baik kok, Lang."
"Ada masalah?"
Senja menggeleng.
"Ini." Langit mengulurkan formulir beasiswa ke arah Senja. "Kamu isi juga formulirnya."
Seharian ini entah kenapa dia terus memikirkan Fajar yang selalu menghindarinya. Sekarang Langit malah tiba-tiba datang memberikan formulir pendaftaran universitas.
"Ikut aku kuliah di universitas yang sama."
Senja memandang Langit kesal kemudian menggeleng.
"Please, Nja. Kita bareng-bareng ngejalani hubungan ini sama-sama. Kita nggak bisa LDR-an. Jerman terlalu jauh buat kita."
Mendengar itu Senja mendengus. "Terlalu jauh gimana? Kamu ragu sama hubungan ini?"
Buru-buru Langit menggeleng. Meraih tangan Senja. "Bukannya gitu, Sayang. Tapi nggak gini. Maksudnya, kalau kita sama-sama di Jerman semua bakal lebih mudah. Hubungan kita, nggak akan ada curiga di sana sini."
Senja merenggangkan genggaman tangan Langit seraya menggeleng pelan. "Dari awal kamu memang ragu sama hubungan ini."
Langit menggeleng. Berusaha sebisa mungkin kembali meraih tangan Senja yang semakin menjauh dan lebih jauh. Bahkan Senja sedikit menarik diri dari hadapan Langit andai saja Langit tidak menahannya secepat itu. "Aku nggak pernah berpikir buat ragu, Sayang. Percaya sama aku," ujar Langit dengan bibir bergetar. "Ya udah, semuanya terserah kamu."
"Kamu yang seharusnya nemenin aku di sini. Bukannya pergi ke Jerman."
Langit menunduk. Bukannya dia tidak mau menemani Senja berada di sini. Andai saja dia punya pilihan sudah pasti, dia yang akan tetap stay di sini. Bukannya pergi ke negeri asing atas perintah Daddy. Baru saja Langit ingin membuka mulut, Senja menghembuskan napas panjang.
Spontan membuat Langit mengusap pelan punggung tangannya. "Kenapa?"
Senja menyandarkan punggungnya. Tersenyum sinis sambil memandang wajah Langit. Hal yang sangat tidak disukai Langit ketika melihatnya seperti itu. "Oh ya aku lupa kalau kamu terlalu ambis buat ngerelain semua itu. Peringkat satu. Kuliah di Jerman. Duduk di perusahaan Bokap itu udah jadi ambisi kamu buat hidup. I think love, nggak bakal ngerubah itu."
"Aku bukannya nggak bisa, tapi kesempatannya lebih besar."
Tidak ada jawaban dari Senja. Tatapan matanya berubah menjadi redup ketika melihat Langit sekilas. Tidak ada cinta di sana. Langit tahu itu. Tapi untuk apa memperjelasnya lagi. "Aku tetap nggak bisa ikut kamu ke Jerman." Mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku nggak bisa ninggalin Mama Papa sendiri di Indonesia."
Langit terpaksa mengangguk mengerti. Senja memang anak satu-satunya. Yang dikatakan Senja mungkin benar. Andai dia juga bisa memilih, dia ingin tinggal di Indonesia dengan keluarganya. Siapa yang mau tinggal sendirian di Jerman dengan orang baru, suasana baru dan obsesi baru.
"Ya udah, aku nggak bakal paksa kamu," ujar Langit.
Langit memaksakan senyumnya. Mengangkat tangan Senja sambil menciuminya pelan. Tapi yang dilakukan Senja malah menarik tangannya sedikit kasar, membuat Langit tersentak dengan kening berkerut.
"Udah dong, jangan ngambek lagi." Kini Langit memilih untuk melepaskan Senja. Diam memandangnya. Yang dia rasakan kini Senja semakin jauh darinya. Tidak seperti dulu. Senja yang dia kenal, perempuan yang selalu mendukungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet : Langit, Senja dan Fajar [END-LENGKAP]
Teen Fiction(Completed) Apa jadinya kalau cintamu bertepuk sebelah tangan? Mempertahankan cinta atau merelakannya? Dapatkah Langit mempertahankan cinta Senja dikala Fajar mencoba untuk mendapatkan cinta Senja? Langsung baca ceritanya.... [END] Start: 1 Juni 2...