Gina berjalan tergesa saat dirinya keluar dari lift, melangkah mendekati apartemen di mana Arlan tinggal. Tangannya memencet bel dari luar yang terhubunga langsung dari dalam sana, kakinya yang berbalut sepatu itu mengetuk-ngetuk lantai yang ia buat pijakan saat ini.
Pintu terbuka, menampilkan Arlan dengan wajah yang penuh luka, rupanya pukulan yang mereka mainkan ternyata sungguhan. Dengan raut cemas Gina masuk ke dalam apartemen, dan menutup kembali pintunya.
"Kenapa bisa gini?!" Gina memegang rahang milik Arlan, meringis sendiri melihat lukanya.
Arlan berdecak pelan, menyuruh Gina duduk di sofa ruang tamunya.
"Aku kira Raina bakalan misahin aku dengan teman premanku, mengusir preman itu pergi, lalu mengobatiku. Makanya aku beneran main mukulnya, tapi Raina malah ninggalin gitu aja!" ucap Arlan dengan geram.
"Aku udah buat rencana sematang-matangnya, dan berharap akhirnya Raina luluh kayak dulu lagi. Tapi semuanya gagal gara-gara Alric!"
Gina yang melihat pacarnya sedang dalam keadaan emosi buru-buru meraih tangannya, lalu menggenggamnya. Mengusap lembut tangan Arlan agar emosinya perlahan berkurang, Gina tahu Arlan benar-benar emosi karena tidak bisa mendapatkan perhatian dan meluluhkan Raina seperti dulu dia lakukan, Gina tahu benar apa yang ditakuti Arlan.
"Tenang sayang, kita masih bisa buat rencana yang lain. Aku yakin Raina cuman bersandiwara di depan Alric, lama-lama Raina juga bakalan kembali sama kamu," ucap Gina dengan begitu yakin.
"Alric perlu disingkirin," tekan Arlan menatap Gina dalam. Gina menghela napas, lalu mengeleng.
"Raina dan Alric itu beda, kita bisa saja menarik kembali Raina pada kita. Tapi tidak mungkin kalo membuat Alric berpihak pada kita, dia bukan orang biasa."
Arlan memutar bola mata malas, melepas tangannya dari genggaman Gina. Membenarkan posisi duduknya, menyenderkan punggunya yang terasa pegal pada empuknya sofa.
"Raina sekarang juga beda, sifatnya bener-bener bertolak belakang sama yang dulu. Dia tiap natap aku, tatapan selalu tersirat amarah." Arlan mengingat kembali pertemuannya dengan Raina akhir-akhir ini, tatapan yang Raina berikan padanya terlihat berbeda dengan dulunya.
"Inget lagi, sebelum dia berubah kayak gini, mungkin kamu ada sesuatu yang buat dia marah?" Gina menatap Arlan penuh tanda tanya, dan cemas. "Tapi Raina nggak pernah marah sama kamu ... Dia selalu manja di depanmu," lanjut Gina dengan mengingat perilaku Raina dulu.
Arlan mengeleng, ia benar sudah memastikan kalau dirinya tak berbuat kesalahan saat memainkan drama selama ini. Sebelum Gina bilang Rain sedang tak sadar diri pada waktu itu, Arlan dan Raina masih baik-baik saja. Tidak ada perselisihan diantara keduanya saat itu, bahkan sedang romantis-romantisnya.
Mengingat perubahan drastis sifat Raina yang sekarang membuat pikiran Arlan terlempar pada saat dirinya bertemu Raina setelah Raina sadar, ya, sehari sesudah Raina sadar.
Dan Arlan dapat menyimpulkan. "Raina berubah setelah sadar, bener dia cuman jatuh aja?"
"Bener, aku sendiri yang liat dia jatuh. Aku yang meminta tolong Raina buat bantu nolongin ambil kucing di atas pohon, dia jatuh sendiri, aku nggak nyuruh loh." Gina mengapit lengan Arlan, meletakkan kepalanya untuk bersandar di bahu kekar pacarnya.
"Raina satu-satunya penghasilan kita," ujar Arlan.
Gina mendongak melihat Arlan, lalu tersenyum simpul. Tangannya meraih tas yang ia bawa, membukanya dan mengambil beberapa uang yang tersusun rapi. Dengan bangga Gina memperlihatkan uang-uang itu di depan Arlan.
"Ta daa! Selain Raina, aku masih punya Ayahnya. Pusat harta keluarga."
Kedua mata Arlan berbinar melihat banyaknya uang di depannya, lalu beralih menatap pacarnya yang juga menatap dirinya dengan senyuman bahagia.
"Selain licik, kamu bener-bener cerdik, sayang." Arlan menarik Gina mendekat, menciumnya dengan penuh napsu.
°°°°°
Setelah menikmati waktu bersama Arlan hari ini, Gina langsung pamit bergegas pulang. Hari sudah mulai petang, Gina tidak bisa pulang terlalu malam, karena ia izin keluar untuk kerja kelompok bukan untuk menemui pacar tersayangnya.
Kakinya melangkah menuju halte, lalu merogoh sakunya mengeluarkan ponselnya. Karena tidak mungkin menelepon supir rumah ke sini, pasti akan menimbulkan kecurigaan. Jadi Gina langsung memesan taksi pribadi lewat ponselnya.
Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti di depan Gina berdiri. Gina terlihat sedikit berbincang dengan sang supir dari luar taksi sebelum dirinya masuk ke dalam taksi, dan berakhir taksi yang Gina tumpangi melesat menjahui halte.
Semua yang Gina lakukan hari ini dilihat dengan jelas oleh seorang perempuan yang sejak tadi duduk diam di bangku halte, topi bucket hat yang ia gunakan di kepalanya menutupi hingga bagian matanya. Ditambah wajahnya yang menunduk, tak ada yang bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Perempuan itu meraih ponselnya yang ia letakkan dalam tas selempeng yang ia bawa, menghidupkan layar ponselnya, jarinya dengan terampil menari di atas layar.
"Tuan, saya sudah kirim alamat apartemen yang dikunjunginya hari ini. Dia menemui pria yang sama, Arlan."
Perempuan itu berucap setelah menempelkan ponselnya di telinga samping kanannya, rupanya ia sedang berbicara dengan seseorang ditelpon.
"Baik, kerja yang bagus. Kamu bisa pulang dan istirahat. Masalah uang nanti saya transfer langsung, terima kasih."
"Kembali kasih Tuan, selamat malam," jawab perempuan itu sebelum menutup telponnya.
Perempuan itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya, ia kembali menunduk saat mendengar suara seseorang yang ia kenal. Tangannya meraih tali sepatunya, badannya ia bungkukkan ke bawah, bergerak seolah-olah dirinya sedang menali tali sepatunya yang terlepas.
"Sayang, kamu bilang mau beliin aku banyak baju? Aku udah relain waktukku buat kamu loh."
"Tentu, aku 'kan udah janji sama kamu. Ayo berangkat," jawab sang lelaki.
"I love you babe." Pasangan itu terlihat memasukki mobil yang terparkir di sebrang jalan, membuat obrolan mereka samar-samar mulai tak terdengar lagi.
Perempuan itu kembali menegakkan tubuhnya, menatap mobil yang pasangan tadi tumpangi melintas melewatinya.
Iya, lelaki tadi adalah Arlan. Dengan perempuan yang berbeda, bukan Gina.
"Dunia, aku harap kamu masih kuat menampung manusia dengan segala keserakahannya, kesombongannya, dan kebodohannya."
Perempuan itu bangkit dari duduknya, membenarkan tas selempengnya, lalu meraih seikat bunga mawar merah yang ia taruh dalam tas wadah bunganya. Melangkah menjahui halte di mana dirinya duduk tadi.
Jack menyipitkan kedua matanya saat baru saja melihat seseorang yang sangat ia kenal, Jack bergegas menghentikan mobilnya, meraih masker dan memakainya. Lalu keluar mobil dengan kedua mata yang tak lepas dari perempuan yang berjalan tak jauh dari mobilnya.
Kaki panjangnya berlari menelusuri trotoar, matanya terus menatap ke depan. Saat Jack hampir mendekati perempuan itu tiba-tiba ponsel yang ia genggam berdering, dan reflek Jack mengalihkan pandangannya menunduk melihat ponselnya.
Dengan cepat Jack mengangkatnya, mendongak kembali melihat ke depan.
"Ya, otw." Lalu mematikan panggilan, tak peduli orang di sebrang sana yang akan misuh-misuh pada dirinya.
Sial, Jack ketinggalan jejaknya.
Jack menghela napas kasar, bola matanya masih berlarian mencari perempuan yang ia maksud. Namun nihil, perempuan itu tak terlihat lagi di pandangannya.
"Apa iya gue halu?"
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Liebling!
ChickLit[ SELESAI ] Selamat membaca. sorry if there is a typo(s) Dia, Lorraina Vabella. Dia gadis cantik yang angkuh. Dia gadis manis yang sombong. Dia seharusnya sudah meninggal. Rencana busuk yang dilakukan adik angkat dan pacarnya, mengakibatkan nyawanya...