28. Kiss & Rain

45.1K 4.8K 220
                                    

Raina mengerjap. Tatapannya tak lepas menatap Alric, ia merasa tiba-tiba pikirannya terhenti. Macet layaknya alat elektronik yang sedang konslet. Hingga detik selanjutnya kalimat yang diucapkan Alric melayang menggelilingi pikirannya. Raina mencoba mencernanya, tetapi yang Raina lakukan sekarang hanya berdiri diam dan kaku. Bak patung.

"Lupakan." Satu kata yang Alric lontarkan itu berhasil membuat Raina sedikit tersadar, namun masih terlihat linglung.

"Saya hanya ngelantur tadi, hm." Alric menghindar dari tatapan Raina, ia sangat meruntuki dirinya sendiri yang dengan gilanya mengatakan itu kepada Raina.

Diamnya Raina membuat Alric merasa sedikit takut. Dirinya telah kurang ajar dengan berbicara seperti itu, Raina pasti tengah memandangnya tak suka.

Masih tak berani menatap Raina, Alric mengedarkan pandangannya. Melihat kaca jendela kamarnya, terlihat rintikan air hujan mulai turun dan membasahi apapun di luar sana. Dengan kaku Alric menunjuk kaca jendela, melirik Raina sekilas. "Hm, hujan. Saya ... saya akan menutup tirainya, dan segera pergi ke ruang kerja, ya."

Tanpa menunggu respon Raina lagi, Alric langsung melangkah melewati Raina yang masih terdiam dengan pikirannya. Tepat di depan tirainya Alric bisa merasakan hawa dingin yang begitu menusuk, dengan segera ia menarik tirai tersebut untuk menutup kaca jendela yang memang sudah tertutup. Alric menggeser tubuhnya, ia memeriksa pintu balkonya. Terkunci. Ia meraih tirai panjang yang terpasang di atas pintu balkon, menariknya hingga menutupi pintu balkon.

Tangannya meraih remote AC, kemudian mengatur suhunya. Alric berbalik, berniat ingin menyimpan remote AC di atas meja sofa dan pamit kembali ke ruang kerjanya. Tetapi gerakkannya terhenti ketika melihat Raina yang berjalan ke arah pintu kamar, seketika pikirannya Alric kacau. Raina marah kepadanya? Hingga dia memilih pergi dari kamarnya? Dan pergi dari apartemennya?

Reflek Alric berjalan mendekati Raina, memiliki maksud untuk menghentikannya agar tak pergi dari sini. Namun, lagi dan lagi Alric terhenti beberapa langkah di belakang Raina. Alric menatap Raina cemas, rautnya sedikit muram. Tapi berubah ketika melihat Raina menutu pintu kamarnya, dan menguncinya.

Garis bawahi. Raina menutup pintu dan menguncinya.

Raina berbalik, menghadap Alric. Beberapa detik keduanya saling diam, saling menatap satu sama lain. Seakan sedang berbicara lewat tatapan. Tak ada suara dari keduanya, hanya gerakkan mereka. Raina mulai berjalan mendekati Alric, sedangkan Alric ia sedikit bergeser dan meletakkan remote AC yang masih berada di genggamnnya di atas meja sofa. Sekarang, tatapannya tak lepas dari wajah cantik gadis di depannya yang begitu membuatnya gila.

Tangan kekarnya meraih pinggang ramping Raina, membawa gadis itu lebih dekat dengannya. Ia melakukannya dengan sadar, dan Raina tak memberontak. Alric menunduk menatap Raina, ia melirik bibir mungil Raina yang sedikit terbuka. Menelan salivanya dengan susah saat melihat bibir mungil itu dari dekat.

Mungil, tetapi menggoda.

"Kamu tau arti tatapanku?"

Alric beralih menatap kedua mata Raina. "Kamu marah?"

Kedua alisnya ia kerutkan, bibir mungil itu sedikit ia majukan. Menatap Alric dengan cemberut. "Kenapa aku marah?"

"Karena .... karena itu?" jawab Alric sedikit berbisik.

Suara derasnya air hujan terdengar beriringan dengan suara merdunya tawa dari Raina, mengalun indah melewati gendang telinga Alric. Melihat cantiknya Raina tertawa tepat di depannya, tawanya seakan-akan menular, Alric ikut menarik bibirnya. Tersenyum tipis.

Disela-sela tawanya Raina memukul dada Alric pelan, perlahan tawanya terhenti dan kembali menatap Alric. Kedua tangannya memeluk leher Alric, telapak kaki tanpa berbalut alas kaki itu sedikit menjijit. Raina mengikis jarak, ia menutup kedua matanya saat bibir mungilnya menempel di atas bibir Alric.

Hello, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang