27. Menginap

43K 4.8K 125
                                    

JANGAN LUPA VOTE KOMENNYA

°°°°°

"Sorry, gue gak ngerti kalo kalian lagi anuan."

Punggung lebarnya ia hempaskan pada sofa empuk dibelakangnya. Jack menyeringai tipis, menatap mata tajam serta wajah datar yang ada di sebrang tempat ia duduk. Ia bisa merasakan hawa yang tak enak di sekitarnya, ia tau orang di depannya sedang menahan rasa antara malu dan kesal. Tapi yang Jack rasakan, lebih dominan pada rasa kesal, atau mungkin marah.

Jack tahu akibatnya kalau menganggu kesenangan Alric saat ini. Tetapi Jack mempunyai alasan untuk itu.

"Katakan, cepat."

"Sabar elah, cewek lo gak akan kemana-mana juga. Masih ada banyak jam setelah jam ini berakhir," sahut Jack dengan malas.

Alric berdecak. Padahal ia sudah memberi tahu Jack kalau malam ini ia tidak ingin diganggu, ia juga sudah bilang untuk tidak masuk apartemennya lagi untuk saat ini. Tapi apa? Jack bahkan menerobos masuk tanpa permisi.

Padahal Jack juga tahu Raina ada di dalam.

"Tugas gue tadinya cuman dua," kata Jack memulai pembicaraan mereka yang serius. Kemudian ia sedikit berdengus dan kembali berkata, "Karena gue dapet sial, jadi tambah satu tugas. Jadi tiga."

"Saya tidak merasa menambah tugasmu," protes Alric. Memang benar, ia tak merasa memberi tugas lagi setelah Jack pergi dari apartemen tadi.

Jack merogoh sakunya, mengambil amplop warna putih yang ada di dalamnya. "Ya emang. Lo tau lah siapa yang kasih tugas dengan sistem kerja rodi."

Sekarang Alric tahu, siapa yang dimaksud oleh Jack. Alric berpikir, apa orang itu tidak pernah mendengar omongan-omongan kalau dirinya dan Raina sekarang menjadi dekat? Alric sangat tau orang suruhannya banyak, tidak mungkin kalau salah satu dari mereka tidak memberikan informasi mengenai kedekatannya dengan Raina. Bahkan Alric tahu kalau dirinya selalu dipantau jika berada di luar.

"Dia mungkin gak akan ngelukai lo. Tapi bisa aja orang terdekat lo jadi korbannya. Karena gue sayang nyawa, jadi gue pasrah aja waktu orang suruhannya seret gue." Jack kembali membuka suaranya, menyodorkan amplop putih itu di depan Alric. Ia tahu Alric tidak akan menerimanya, setidaknya ia sudah melaksanakan tugasnya.

"Kau bisa melawannya," balas Alric dengan memprotes.

"Tenaga gue terlalu berharga."

Alric menghela napasnya kasar. Satu hal yang Alric benci adalah pemaksaan. Ia memiliki jalan hidupnya sendiri, ia telah memiliki segalanya untuk mengatur kehidupannya. Ya, katakan saja jika Alric sombong. Alric tidak peduli. Ia tak suka jika seseorang memiliki tekad dan seolah-olah dialah Tuhan yang bisa dengan gampang menganturnya.

Ia bisa menjamin, kalau semua aturan dan paksaan itu tidak pernah berhasil membuat Alric tunduk. Karena yang Alric rasakan sekarang hanya Raina yang dapat mengatur, dan menyuruhnya. Tidak dengan yang lainnya.

"Lo udah baca pesan gue 'kan?" Jack mengangkat kedua alisnya, bertanya kepada Alric.

"Sudah," jawab Alric jujur.

"Gue tau pikiran lo selalu matang. So, tahan Raina di sini dulu. Sampe besok aja, lanjutin kegiatan lo yang tadi." Jack bangkit, meraih maskernya dan memakai kacamata hitamnya. Merapatkan jaket hitamnya. "Gue balik, tugas gue belum kelar."

Alric mengangguk, ia ikut bangkit dari duduknya. Melangkah mendekati Jack, lalu menepuk bahu kokoh cowok itu, dengan maksud memberikan semangat. "Thank you, and I'm sorry."

"Sudah tugas saya, Tuan." Jack menyahutinya. Kemudian kembali berucap dengan mengubah gaya bicaranya. "Selow aja lo, gak usah bilang gitu ke gue."

Alric terkekeh pelan. "Kenapa tidak pernah ingin saya mengucapkannya kepadamu?"

Hello, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang