48. Bantahan

32.3K 3.3K 34
                                    

Genggaman tangan ayahnya pada telapak tangan Raina semakin mengerat, seakan memberitahukan kepadanya kalau semuanya akan baik-baik saja. Raina mendongakkan wajahnya menatap ayahnya yang berdiri di sampingnya. Seulas senyuman dan anggukkan dari ayahnya untuknya.

"Dia tidak akan bisa menyakitimu di sini, duduklah."

Nendra menarik kursi untuk putrinya. Mereka saat ini sedang berada di kantor polisi, tempat dimana Gina ditahan.

Seperti yang dikatakan oleh Sharen kemarin malam, ternyata ayahnya mengajaknya menjenguk Gina. Tidak, ini bukan keinginan Nendra. Gina sendirilah yang meminta kepadanya untuk membawa Raina menjenguknya.

Awalnya Nendra menolak, karena semua urusan Gina dengan Raina sudah selesai. Ralat, urusan Gina dengan keluarganya. Tetapi saat melihat Gina menangis sambil memohon dan hampir bersujud kepadanya akhirnya pun Nendra mengiyakan, dengan syarat yang berlaku.

Kata ayahnya, setelah penangkapan Gina dan Arlan, mereka terungkap juga terseret dalam kasus narkoba. Karena itulah beban mereka semakin ditambah. Jujur saja Raina sedikit tak menyangka akan hal ini, begitu liarnya Gina karena pengaruh dari Arlan? Atau karena cinta butanya pada laki-laki itu yang membuat semua hal buruk seketika menjadi hal yang baik? Raina bergidik ngeri membayangkan jikalau saja dirinya berada di posisi Gina.

"Kak ..."

Raina yang sedang mengobrol dengan ayahnya pun menoleh, lalu menyudahi obrolan mereka. Raina mengangguk menanggapi panggilan dari Gina. Ada sedikit rasa prihatin saat melihat keadaan Gina saat ini, kedua matanya sayu pun sedikit bengkak, terlihat juga kantung mata yang mulai menghitam. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya tak lagi tertata seperti biasanya.

Mengerikan.

"Makasih udah mau ke sini jenguk aku, apa kabar, Kak?"

Bingung karena tak tahu harus merespon apa, Raina sekilas tersenyum. "Iya, kabar gue baik. Lo sendiri?" Hatinya berkata, setidaknya basa-basi ini tak begitu terlihat klasik?

"Kak, aku—"

"Bisa dipercepat? Dua puluh menit lagi saya ada rapat," sela Nendra dengan nada datarnya.

Tak ada lagi nada hangat yang biasanya Gina dengar, pria itu bahkan tak melemparkan sapaan kepadanya. Pria hangat itu berubah juga karena dirinya, Gina gak akan menyangkal. Ia mengakui kesalahannya.

"Ayah sabar dulu, baru juga duduk. Belum ada lima menit ini. Gimana, Gin? Mau ngomong apa? Waktunya terbatas soalnya."

"Maaf ..." Gina menelan ludah. "Walau aku tau maaf ini nggak akan mengubah segalanya, seenggaknya aku masih sempat minta maaf sama Kakak."

Raina diam sambil menatap Gina yang juga menatapnya, ia tak merespon.

"A-aku tau ... rasa sakit dari pengkhianatanku nggak akan begitu mudahnya digantikan dengan kata maaf. Aku juga tau kalo ... Kak Raina pasti sulit memaafkan kelakuanku."

"Waktu tersisa empat menit."

"Kak aku benar-benar dihantui rasa bersalah yang selama ini aku lakuin, aku selalu terbayang-bayang ucapan Kakak di gudang waktu itu. Aku sadar monster kayak aku ... harusnya berada di tempat dimana monster kumpul."

Raina melipat bibirnya sebelum tersenyum, lalu mengangguk beberapa kali. "Gin, gue tau kata-kata ini jahat. Tapi ... kayaknya emang gue belum bisa nerima maaf dari lo ... karena di sini tuh rasanya masih sakit banget," ucap Raina seraya menunjuk dada kirinya.

"Tapi gue yakin seiring jalannya waktu nanti, hati gue bakalan nerima semuanya. Walaupun ... walaupun gue nggak ngasih tau lo. Semua yang hancur ini perlu waktu buat memperbaiki."

Hello, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang