HAPPY READING GUYS!
FOLLOW AKUN!.
Alric meletakkan IPad yang ia pegang ke atas meja. Kedua tangannya bersedekap dada, menatap tajam Jack yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerjanya. Bersiap ingin memarahinya, tetapi saat melihat raut wajah Jack yang terlihat lelah Alric hanya bisa menghela napas pelan, walau begitu tatapan tajamnya belum lepas dari Jack.
Sedangkan yang ditatap hanya melirik sekilas, Jack malah merebahkan tubuhnya yang terasa pegal pada sofa yang berada di depan Alric duduk. Jack mengangkat kepalanya agar bersandar di atas sofa, samar-samar ia memejamkan matanya tanpa memikirkan Alric yang masih menatap tajam dirinya.
"Saya sudah bilang, jangan pernah menemuinya walaupun dia memintanya, atau memaksa," tegas Alric kepada Jack, tidak ada sahutan, tapi ia tahu Jack mendengarkannya.
"Itu hanya membuang waktumu, biarkan dia lelah hingga dia sendiri yang menghadap padaku."
Masih tidak ada sahutan dari Jack, tetapi tangannya bergerak merogoh saku jasnya. Mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih, lalu melemparkan amplop itu hingga mendarat di atas meja yang berada di tengah-tengah mereka.
Alric memutar bola mata malas, tanpa membuka isi amplop itu pun ia sudah tahu apa isinya. "Bakar," suruhnya dengan malas.
"Dia terlihat begitu berambisi." Akhirnya Jack bersuara. Suaranya terdengar sangat malas, atau bahkan terdengar seperti ejekan.
"Pake ngancem gue lagi," kekeh Jack dengan kedua mata yang masih tertutup.
"Kau takut?"
Jack membenarkan tubuhnya untuk duduk, lalu mengibaskan tangannya, memasang wajah songongnya. "Dia bukan Tuhan, kenapa gue harus takut."
Alric mengangguk-angguk sambil berseru, "Bagus."
"Gue juga punya lo buat berlindung," kekeh Jack sekali lagi.
Alric tak mempermasalahkan jika Jack menjadikan dirinya untuk tempat berlindung, ia sudah menganggap Jack seperti saudaranya sendiri, jadi tak salah jika saudara saling melindungi satu sama lain. Tapi yang Alric permasalahkan adalah saat Jack dijadikan umpan dalam masalahnya, jujur saja itu benar-benar tidak akan mempengaruhi dirinya, dan ia tahu dengan jelas kalau Jack akan selalu berpihak kepadanya.
"Dia bilang, dia melakukannya buat lo. Dia gak akan menyerah manggil gue buat jadi perantara ngasih sampah ginian ke lo." Jack menghela napasnya, merasa sangat malas jika dirinya sudah ikut serta dengan masalah ini.
"Ya dia gak bakal bosen, tapi gue yang bosen! Nyuruh mulu ngasih gaji kaga, ini namanya kerja rodi," lanjut Jack dengan kesal.
"Blok saja nomornya, saya tahu dia selalu menerormu setiap kali butuh." Alric jadi ikut malas dengan ambisi orang itu.
"Percuma, nomornya 'kan berlimpah," keluhnya.
Mereka sama-sama menghela napas lelah, tak ada yang ingin mengalah. Ini masalahnya dengan Alric, tapi kenapa orang itu tak menghadapnya langsung dan berbicara dengan terus terang. Tidak dengan menjadikan asistennya perantara seperti ini, Alric jelas tidak mau menanggapinya, kerena ini tidak sesuai dengan keinginannya. Bahkan ia tak pernah ingin melakukannya, orang itu saja yang selalu kukuh.
"Kau tidak menyemburnya dengan kata-kata pedasmu 'kan?" Alric menarik sedikit sudut bibirnya, menatap Jack dengan alis yang terangkat.
"Ck, aman. Gue tahan, kasian ntar jantungnya bergoyang."
Alric tertawa, melempar Jack dengan bantal sofa yang ada di sampingnya. Jack menatap bosnya kesal saat bantal itu dengan mulus mengenai wajahnya, Jack melemparkan kembali bantal itu dan langsung ditangkap Alric.
"Gak sopan! Di mana attitude-mu saat bersama bos mu?!" Alric mengembalikan bantal yang ia tangkap di samping dirinya duduk.
Lah, yang kelempar siapa, yang marah siapa? gerutu Jack dalam hati. "Ketinggalan di mobil," jawab Jack dengan enteng.
Alric mengangkat alisnya, menatap asistennya remeh. "Emang punya?"
"Gak." Jack mengambil anggur yang ada di atas meja, dan memakannya. Kemudian mengambil alih IPad yang tadi Alric pakai sambil mengunyah anggur di dalam mulutnya.
"Apa besok jadwal saya padat?" tanya Alric setelah melirik IPad di tangan Jack.
Jack masih mengutak-atik layar IPad di tangannya, jarinya terkadang menggeser-geser lalu menekan-nekan layarnya. Raut wajahnya begitu serius, itu tandanya Jack sedang ada di mode serius.
IPad itu ia sodorkan di depan Alric, memperlihatkan jadwal bosnya untuk hari esok. "Hanya ada rapat, kalo lo gak bisa hadir gue suruh gantiin. Itu buat rapat agak siangan, kalo pagi lo gak bisa digantiin. Soalnya tanda tangan lo diperluin waktu rapat selesai," jelas Jack kepada bosnya.
Alric mengangguk-ngangguk mendengarkan penjelasan dari Jack, jarinya mendekat menggeser layar IPadnya. Ia lakukan hanya untuk melihat-lihat saja, sekedar memeriksanya sekilas, karena Alric yakin Jack sudah mengerjakan pekerjaanya dengan sangat baik.
"Rapat pagi gue gak bisa nemenin," sahut Jack yang sekarang sudah sibuk dengan ponselnya.
Alric mengangguk. "Ya, saya tau."
"Kalo gue izin, lo kaga mau tanda tangan lagi. Padahal juga buat lo sendiri." Jack berdecak kesal, dan kembali berujar dengan melas. "Terpaksa gua bujuk sekertaris, biar dibuatin surat sama dia."
"Dan akhirnya dibuatin 'kan?"
"Iyalah, gak ada yang mau nolak orang cakep. Gini nih kayak gue, selain otak pintar, kecakepan juga perlu dipake. Biar gak nganggur." Jack mengangkat tangannya menunjuk Alric yang ada di depannya, tetapi terhenti saat melihat Alric sudah berjalan menaiki tangga menunju kamarnya.
"Fuck," umpat Jack.
Sedangkan di kamarnya, Alric terkekeh sendiri memikirkan emosi asistennya setelah ia tinggal pergi begitu saja. Ia yakin sekarang Jack sedang misuh-misuh di bawah, Alric mengangkat bahu tak acuh, mau Jack emosi sampai menghancurkan apartemennya Alric tak peduli. Tinggal potong gajinya untuk ganti rugi, mudah.
Alric menoleh mencari ponselnya, melihat ponselnya berada di atas tempat tidurnya dengan cepat ia meraihnya, kemudian ikut merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Kasur ini pernah digunakan Raina tidur, memikirkan hal itu membuat Alric diam-diam tersenyum. Mengingat Raina yang tertidur pulas di sini, wajahnya sangat tenang dan damai saat tidur. Kecantikannya pun tak hilang saat dia tidur, tambah terlihat begitu manis.
"Hmm, sedang apa ya sekarang dia?" ucapnya sendiri.
Jarinya bergerak membuka obrolan chat dirinya dan Raina, lalu menggulirkan layar ponselnya ke atas. Jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel, Alric melipat bibirnya ke dalam melihat Raina yang tampaknya sedang off.
"Chat atau ... telpon?"
"Chat saja." Alric mulai mengetik untuk mengirim pesan kepada Raina, tetapi selalu ragu saat dirinya ingin mengirim pesan tersebut. Alric menghapus pesan itu, lalu mengetik kata-kata lainnya. Jarinya terhenti di depan tombol send, Alric berdecak pelan kemudian menghapusnya lagi.
Alric mengeleng setelah membaca pesan yang ingin ia kirim kepada Raina, dan menghapusnya lagi. "Chat apa yang benar?"
Alric menaruh ponselnya di sampingnya, ia benar-benar dibuat berpikir keras setiap ingin mengirim pesan untuk Raina, ia takut jika saja pesan itu akan membuat Raina tak nyaman. Dan bagaimana jika Raina sedang sibuk? Akhir-akhir ini Raina begitu serius berkutat dengan buku pelajarannya, dan Alric tak ingin menganggunya.
Karena terlalu lama berpikir Alric tak tahu jika Raina melihat obrolan chat mereka, melihat Alric yang selalu mengetik, tapi tak kunjung terkirim. Dan karena kelakuannya itu sukses memancing rasa penasaran Raina yang berada di lain tempat, hingga tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Alric menoleh, tubuhnya menegang. Terlihat layar ponselnya hidup dengan pemberitahuan jika ada seseorang yang meneleponnya. Kedua matanya mengerjap, Alric berdehem guna menentralkan jantungnya.
Sang pujaan hati meneleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Liebling!
ChickLit[ SELESAI ] Selamat membaca. sorry if there is a typo(s) Dia, Lorraina Vabella. Dia gadis cantik yang angkuh. Dia gadis manis yang sombong. Dia seharusnya sudah meninggal. Rencana busuk yang dilakukan adik angkat dan pacarnya, mengakibatkan nyawanya...