32. Ucapan Maaf Raina

34.7K 3.9K 117
                                    

Ia khawatir. Khawatir jika memang benar selama ini dugaannya terhadap Alric yang memaksa Raina untuk melakukan ini semua, melihat dari bagaimana ambisi putranya saat menginginkan apa yang dia inginkan.

Raina tersenyum hangat menatap Harris, kemudian ia mengeleng. "Nggak, om. Alric nggak maksa Raina buat melakukan ini semua. Kabar yang om dengar itu benar, kita sekarang dekat satu sama lain, dan di hubungan ini nggak ada kata pemaksaan. Sejauh ini aku mengenal Alric ... dia bukan tipe laki-laki yang suka memaksa, bahkan sebelum dia mau melakukan apapun dia pasti meminta izin sama Raina dulu."

"Mungkin om Harris mikir kalau Raina bakal apa-apain Alric atau punya rencana jahat ... Raina bersumpah, Raina nggak ada rencana jahat apapun. Satu-satunya keinginan Raina itu ... menebus semua kesalahan Raina ke Alric, juga sama om Harris dan tante Bella."

Harris hanya diam mendengarkan Raina.

"Rasanya belum lega kalau Raina belum minta maaf, om." Raina melipat bibirnya, menarik napas sebanyak-banyaknya.

"Om Harris ... Raina minta maaf atas semua kelakuan Raina di masa lalu, semua kelakuan kurang ajar yang Raina tunjukan ke keluarga om Harris. Tolong sampaikan maafku juga buat tante Bella di Amerika ... Raina beneran menyesal udah lakuin semua itu ... Raina--"

"Sudah, cukup. Saya bisa dimusuhi Alric kalau dia melihat gadisnya menangis saat ini," potong Harris ketika melihat Raina mulai berkaca-kaca.

Harris berpindah duduk di samping putri sahabatnya yang kini menatapnya dengan kedua matanya berkaca-kaca, Harris menyambut perminta maafan gadis ini dengan membawanya ke dalam pelukannya. Tak bisa jika ia disuruh membenci gadis ini, Raina bahkan sudah ia anggap seperti anaknya sediri.

Tanpa ada yang tahu, Nendra sendiri yang datang kepadanya untuk meminta maaf atas perlakuan putrinya kepada keluarga Mosvier jauh sebelum Raina mengatakan maafnya sekarang. Bahkan Nendra sampai bersujud di depan dirinya, hingga akhirnya keduanya saling sepakat untuk melupakan masa-masa itu. Karena pada dasarnya Harris bukan orang pendendam, tapi tak urung kelakuan Raina yang dulu terhadap keluarganya memang begitu mengecewakan.

"Lupakan semua, lupakan tentang masa-masa itu. Saya, istri saya, Alric, bahkan Ayah dan Bundamu sudah sepakat untuk melupakannya. Kami memang salah karena dengan seenaknya mengambil keputusan yang dengan jelas kita sudah tau bagaimana akhirnya."

Harris melepas pelukan mereka, mengusap surai Raina dengan senyuman hangatnya. Ia bisa melihat hidung gadis ini memerah, kedua matanya juga dipenuhi air matanya. "Tidak, tidak. Jangan menangis. Hidung dan matamu merah, itu menyeramkan, lalu Alric akan berpaling darimu. Mau?"

Raina menyedot ingusnya sambil menyipitkan kedua matanya. "Om yang bikin Raina nangis," tuduh Raina.

Bukannya tersinggung, pria tua itu malah tertawa. Ia memberi Raina tissue untuk mengelap ingusnya yang sedari tadi memaksa ingin keluar. Keduanya masih tetap berlanjut mengobrol ringan.

"Ekhem."

Harris menoleh, mengangkat alisnya melihat putranya menatapnya tajam, dengan sengaja Harris merangkul bahu Raina di depan Alric. Mengangkat satu kakinya ke atas pahanya. Sedangkan Raina hanya diam, sesekali melirik raut wajah Alric. Astaga, buram sekali, dia cemburu sama papanya sendiri?

"Ngapain Papa pindah situ?" tanya Alric sedikit sinis.

"Suka-suka sayalah. Kita berdua habis foto-foto," jawab Harris cuek.

Alric berdecak pelan. "Awas."

"Heh? Kamu ngusir Papa?" Harris mendelik ke arah putranya.

"Pindah, Pa," desis Alric.

Hello, Liebling!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang