2. Keluarga Sanjaya

267 47 81
                                    

Hembusan napas lega begitu kontras mengisi kelas XII IPA 2, akhirnya seluruh penghuni kelas itu bisa pulang setelah Pak Bagus menghentikan pidatonya yang begitu panjang. Guru yang mengajar Bahasa Indonesia itu selama dua jam melontarkan nasihat dan cerita yang membuat seisi kelas bosan sekaligus mengantuk.

"Mood gue ancur karna Pak Buruk." Seorang siswi melontarkan kekesalannya, beberapa yang mendengar mengangguk setuju.

"Padahal tadi udah seneng karna gak bakal belajar," timpal seseorang lagi sambil menyeka rambutnya yang berantakan ke belakang.

"Kenapa harus dia sih yang jadi wali kelas kita, bisa-bisa di kasih pidato tiap hari ini mah." Kelas itu kini diisi pergunjingan dan keluh kesah tentang Pak Bagus, padahal seharusnya mereka sudah pulang.

Revan yang tak tertarik dengan perbincangan mereka, memilih beranjak dari sana. Ia tak masalah siapapun yang menjadi wali kelas, sekalipun itu Pak Bagus. Guru berumur 42 tahun itu bukanlah Guru Killer, bahkan ia tak pernah terlihat marah. Hanya saja karena bahasa yang digunakan Pak Bagus terlalu ketinggian membuat banyak siswa yang pusing olehnya. Apalagi jika mereka membuat kesalahan, Pak Bagus pasti akan menasihati dan mulai berkhotbah dengan bahasa baku serta memperhatikan PUEBI di setiap kalimatnya.

"Hai, Revan. Gue nebeng ya." Pegangan erat di lengannya membuat Revan menatap si pelaku dengan tajam. Matanya seolah memberi peringatan keras, namun hal itu sama sekali tak membuat gadis di sampingnya gentar.

"Lepas!" ucap Revan. Gadis ini benar-benar melewati batas, berani menyentuh Revan tanpa izin.

Tania menggeleng, beralih memeluk lengan Revan. Tak sedikitpun memperdulikan tatapan menusuk sang lawan bicara. "Gak mau, gue mau pulang bareng lo."

"Gak," balas Revan singkat. Segera tangan itu ia tepis, mengubah keadaan di mana sekarang Revan lah yang mencengkram kuat lengan Tania.

"Berhenti ganggu gue!"

Tania meringis, juga sedikit terkejut. Revan tak hanya dingin dan memiliki lidah yang tajam, namun ternyata ia juga kasar. Tetapi, semua itu tak akan merubah tekad Tania. Ia akan tetap menaklukkan Revan, membuat pemuda itu bertekuk lutut di hadapannya.

"Gue gak akan berhenti sebelum lo mau jadi pacar gue," kata Tania tersenyum.

"Lo gila."

Tania mengangguk, sama sekali tak menampik perkataan Revan. Ia menarik kasar dasi pemuda bermata hitam kelam itu, membuat Revan terhuyung ke depan. "Gue bakal tunjukkin seberapa gilanya gue."

Sekali lagi tangan Tania ditepis kasar, lalu tubuhnya didorong ke belakang. Ia berteriak kesakitan, bokongnya terasa ngilu. Sementara Revan dengan teganya pergi begitu saja, meninggalkan Tania yang masih meratapi nasib bokong seksinya. Gue gak bakal tepos kan?

"Gue berdo'a, semoga lo kecebur got. Dasar Revandra Bahlul Sanjaya!" umpat Tania sambil menekankan kata 'bahlul'.

***

Revan berdecak, matanya sedari tadi bergerak ke sana kemari mencari keberadaan Larisa-Adiknya. Namun sudah lebih dari sepuluh menit ia di sini, gadis itu tak kunjung menampakkan batang hidung atau sekadar memberi tahu Revan keberadaannya. Kekhawatiran menyelimuti hati Revan, takut terjadi hal tak diinginkan kepada Larisa, mengingat seberapa cerobohnya gadis petakilan itu.

Mengambil benda persegi dari saku seragam, benda yang menjadi candu semua orang namun hanya sebuah pajangan untuk Revan. Ia hanya menggunakan ponselnya di saat-saat penting atau mendesak, selebihnya dibiarkan begitu saja. Sepanjang hari yang ia lakukan hanyalah bergelut dengan buku-buku tebal, terlebih tentang kesehatan.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang