44. Asing?

103 15 1
                                    

Setelah izin seminggu, akhirnya Revan masuk sekolah hari ini. Perasaannya sudah jauh lebih baik, meski hampa di hatinya terus mengganggu. Hidupnya tak akan berhenti di sini karena kepergian Larisa, jadi ia akan melanjutkan semuanya meski mungkin tak lagi sama.

Tungkai panjang itu ia seret menyusuri koridor, beberapa menatapnya kasihan yang membuat Revan justru merasa kesal. Suara teriakan gadis membuat pemuda itu menoleh ke belakang, sosok yang sebetulnya ia cintai itu kini berlari mengejar seorang pemuda. “JORDI ANJING! BALIKIN GAK KUNCIR GUE!”

Tania berlalu begitu saja di depan Revan, gadis itu sama sekali tak melirik ke arahnya. Pemuda itu tersenyum getir, bukankah dirinya yang memutuskan hubungan dengan gadis itu? tapi mengapa ia begitu tak rela melihat Tania yang sepertinya semakin akrab dengan Jordi, pemuda yang digadang – gadang sebagai tetangga apartemen gadis itu.

Ia menghela napas, berusaha menghalau rasa tak nyaman yang bersarang di dada. Revan tak menampik jika dirinya memang mencintai Tania, tapi sikap gadis itu sendiri lah yang membuatnya emosi dan mengakhiri semuanya tanpa berpikir. Lagipula lihatlah sekarang, Tania bersikap seolah ia tak masalah putus dengan Revan dan justru begitu dekat dengan Jordi. Apa mungkin mereka udah jadian? batin Revan.

Tepukan di bahunya membuat pemuda dengan ransel hitam itu melirik si pelaku, Indri dan Sasha berdiri di belakangnya sembari tersenyum aneh. “Cemburu ya? Masih cinta kan? Balikan gih!”

Indri mengangguk – anggukkan kepala mendengar ucapan Sasha, “si Jordi kayaknya udah ngincer Tania dari lama tuh. Yang ngantri di belakang Tania bukan tu cowok aja loh, cepetan gerak sebelum dia diambil orang.”

Revan mengerutkan dahi, apa-apaan dua gadis ini? berniat menghasutnya? “Gak peduli,” balas pemuda itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

“Susah ini mah. Yang satu egois, yang satu gengsi.” Sasha menggeleng-gelengkan kepala, ia berdecak berulang kali. Padahal jelas – jelas Revan terlihat tak suka dengan kedekatan Tania dan Jordi, kecemburuan tersirat jelas dari mata pemuda kaku itu.

Indri mendesah lelah, kedua tangannya terlipat di depan dada. Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah senang. “Gue punya ide.”

Sementara di sisi lain, Tania masih sibuk meraih kunciran nya yang dengan iseng direbut oleh Jordi. Sebetulnya ia lebih suka dengan rambut tergerai, namun hari ini ia sedang ingin mengikat rambut panjangnya. Tania berangkat ke sekolah bersama Jordi tiga hari ini, dan selama tiga hari ini pula keduanya terlihat lebih dekat dibanding sebelumnya. Ia awalnya hanya ingin membuat Revan cemburu, tapi nampaknya pemuda itu tak peduli. Keduanya telah asing, saat bertatapan dengan Revan tadi ia bisa merasakan sesuatu menghalangi mereka.

Tania berhenti melangkah, moodnya rusak begitu saja. Ia pikir ketika Revan telah masuk sekolah, mereka bisa memperbaiki semuanya. Namun sepertinya tidak ada kesempatan kedua untuk Tania, dia sadar betul kesalahannya.

“Yah, murung lagi,” celetuk Jordi yang kini berjalan mendekat. Niatnya mengusili Tania hanya agar gadis itu tidak bersedih lagi, ia tak suka melihat Tania yang seperti ini. Ke mana Tania yang ceria, petakilan, berani, dan arogan? Gadis itu lebih sering diam dan merenung sekarang.

“Lo sih nyolong kuncir gue, kan gue jadi sedih.” Tania menampilkan wajah sedih, kali ini terlihat pura – pura dan hiperbola.

“Digerai lebih cantik, Tan,” balas Jordi, namun tak urung mengembalikan ikat rambut berwarna hitam itu kepada Tania.

Tania mendesah pelan, meraih kuncir tersebut dan menatapnya dengan sendu. “Ini dari Revan.”

Jordi berdecak, “pantesan gak rela banget gue ambil.”

Tania terkekeh, lalu mengikat rambutnya. Segala hal tentang Revan selalu menjadi favoritnya, walau mungkin tidak untuk pemuda itu. Mungkin memang benar, Tania hanyalah sebuah kekacauan untuk Revan. Kali ini Tania akan mencoba melepaskan, perpisahan ini sepertinya jalan yang terbaik untuk mereka saat ini. Tania akan memperbaiki diri, ia sadar jika sifatnya buruk.

“Gue bakal nyoba ikhlasin semuanya, kayaknya Revan emang bukan jodoh gue,” tekad Tania. Walau sulit, bukan berarti ia tak bisa. Tania memang sudah jatuh cinta sedalam – dalamnya pada Revan, namun pemuda itu benar, Tania terlalu egois untuk menjalin sebuah hubungan. Daripada saling menyakiti, lebih baik mereka berpisah untuk introspeksi diri.

***

Tania dan kedua sahabatnya itu berjalan menuju kantin, ketika melewati perpustakaan mereka melihat Revan. Tania berhenti sejenak, memperhatikan punggung Revan yang tampak sedang menyusuri deretan Rak di sana. Ck ... tetap aja gak bisa lepas dari buku, ujar Tania dalam hati.

Gadis itu hendak melangkah memasuki tempat itu, namun langkahnya seketika berhenti. Tania lupa jika keduanya sudah tak punya hubungan apa – apa, ia lupa jika mereka telah kembali asing sekarang.

“Kenapa, Tan? Kok gak jadi?” tanya Sasha. Merasa aneh dengan sikap Tania yang urung menghampiri Revan, padahal ia pikir gadis itu akan menurunkan ego dan gengsinya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada pemuda itu.

“Gapapa. Udah yuk, laper gue.” Tania menarik kedua sahabatnya itu menjauh dari sana. Jika lebih lama di depan pintu perpustakaan itu, mungkin saja kakinya mengkhianati dan berakhir berlari menghampiri Revan lalu memeluk pemuda itu.

“Gak mau balikan?” Kini Indri yang membuka suara. Tania tersenyum getir, kemudian menggeleng. Jika berjodoh, mereka pasti akan kembali. Tapi untuk saat ini, biarkan keduanya sama – sama saling mengobati diri. Tania juga berniat untuk menyelesaikan masalah dengan Tio – Papanya terlebih dahulu. Ia sudah terlalu lama hidup dalam trauma ulah lelaki itu, Tania ingin berdamai dengan diri sendiri dan Tio agar tidak ada lagi yang membuatnya resah.

Sasha menaikkan sebelah alis bingung, tak mengerti mengapa Tania tiba – tiba menyerah seperti ini. “Lo gapapa, Tan? Bukannya lo cinta banget sama Revan?”

“Lo bilang gue gak boleh egois kan? Gue gak bisa maksain kalo Revan emang udah gak mau sama gue. Lagian, gue mau perbaiki diri dulu. Setelah gue gak egois, setelah semua trauma dan luka yang gue dapet dari Papa sembuh, gue akan dengan percaya diri ngajak Revan balikan. Kalau perlu, gue bakal ngejar – ngejar dia lagi kayak diawal,” jelas Tania diakhiri tawa.

Sasha menampilkan ekspresi terharu, ia merentangkan tangan lalu memeluk Tania. “Akhirnya lo berpikiran terbuka dan dewasa, gak kayak Indri lagi.”

“Heh! gak kayak gue gimana maksud lo hah?” tanya Indri marah sembari memukul bahu Sasha kesal.

“GOBLOK!” jawab Sasha dan Tania dengan kompak. Keduanya terbahak melihat wajah memerah Indri yang hendak marah, kemudian kabur menghindari amukan gadis itu.

“AWAS YA LO BERDUA! KALO DAPET, GUE JOROKIN KE SELOKAN!”

_to be continue_

ehehe, karna udah menuju ending
aku update setiap sabtu ya

kalian bantu share biar makin banyak yang baca

kira - kira Revan Tania akan berakhir bahagia atau sedih ya?

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang