40. Tio Algandra

118 16 1
                                    

Gadis itu mematung setelah membuka pintu apartemennya. Sedari tadi bel apartemennya dibunyikan berkali-kali, membuat gadis dengan piyama merah muda itu terusik dari tidurnya.

“Tania, ini Papa,” sapa pria paruh baya dengan balutan pakaian hitam dan topi yang menutupi kepalanya. Dengan wajah yang terlihat lelah dan kusam, pakaiannya juga tak beraturan.

Setelah tersadar, Tania hendak menutup pintu apartemennya. Namun pergerakan Tio lebih cepat darinya, pria itu dengan sekuat tenaga menahan pintu. “Nak, dengerin Papa dulu.”

“Enggak, manusia bejat. Pergi lo dari sini, gue gak punya Papa kayak lo!” pekik Tania, mata gadis itu memancarkan api kemarahan. Tidak! Tania tidak pernah berharap pria itu kembali ke hidupnya yang damai.

“Maafkan Papa, Nak. Papa menyesal.” Wajah Tio memelas, tangannya masih senantiasa bertengger di pintu agar Tania tak dapat menutupnya. Ia sudah mencari Tania selama beberapa tahun, namun tak dapat menemukan gadis itu di rumah maupun kantor. Hanya Riko yang selama ini ia lihat dan temui, namun pemuda itu jelas tak akan buka suara perihal keberadaan Tania. Riko justru mengancamnya untuk tidak mencari ataupun menemui Tania.

Tania tercengang mendengar ucapan sang Ayah, tangannya yang tadi hendak menutup pintu terlepas. Ia lantas tertawa remeh, “menyesal? kenapa baru sekarang? dulu ke mana aja?”

Tio tertegun, ia memang telah banyak bersalah dan menyebabkan Tania menderita. Tapi saat ini, Tio benar-benar menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Semenjak tak bersama Tania dan Tiara, hidupnya hancur. Tio menjadi luntang – lantung di jalanan. “Tolong kasih Papa kesempatan untuk jelaskan semuanya, semua hal yang gak Mama mu ceritakan.”

“Gak perlu, gue gak butuh!”

“Nak, sekali ini saja,” mohon Tio. Kali ini ia tak akan mengemis maaf ataupun meminta gadis itu menerimanya kembali. Tio hanya ingin menjelaskan semuanya, tentang beberapa hal yang sebetulnya salah diartikan.

“Gak! Pergi!” Tania dengan cepat menutup pintu apartemennya setelah mengatakan hal itu. Ia bersandar di pintu, memegang dadanya yang tiba-tiba diserang rasa sesak. Setetes air mata jatuh di pipi gadis itu, tangis yang sedari tadi ia tahan perlahan pecah. Kenangan pahit bersama sang Ayah kembali berputar di ingatan Tania.

Dulu, Tania kira Papanya adalah sosok kepala keluarga yang baik. Ia sering menghabiskan waktu bersama Tio karena pria itu tak punya pekerjaan tetap, sementara sang Ibunda lah yang bekerja di perusahaannya sendiri. Namun ketika usianya menginjak angka sepuluh, Tania baru tahu jika hubungan kedua orang tuanya tak sebaik yang terlihat. Mereka semakin sering bertengkar dan sang Ayah mulai mabuk-mabukan dan berjudi, setiap Tania ingin ditemani, ia justru akan mendapat pukulan dari Tio. Tania masih berusaha memahami keadaan sang Ayah yang mungkin memang sulit sehingga bersikap demikian, hingga di titik dimana perilaku Tio semakin parah. Ia hanya pulang untuk memukul Tiara dan Tania, menumpahkan kekesalan pada kedua perempuan itu.

Ketika umurnya 12 tahun, Tania kembali mengetahui jika sang Ayah sering bergonta-ganti pasangan. Hal itu jelas kembali menjadi masalah bagi Tiara, membuat Tania harus menutup kuping kesekian kalinya karena pertengkaran keduanya.

Sampai pada puncaknya, Tio ternyata telah punya keluarga lain. Pertengkaran hebat terjadi, benar-benar menjadi titik puncak berakhirnya rumah tangga mereka. Tania senang dengan perpisahan keduanya, namun tentunya ada pula rasa nyeri di dada.

Tania berjalan menuju kamarnya, dengan masih terisak mendial nomor Revan. Ia tak bisa menahan rasa sakit ini sendirian, ia butuh pemuda itu di sampingnya, memeluknya dengan erat dan mengatakan bahwa dia tak akan pergi meninggalkan Tania seperti yang telah Tio lakukan.

Sayangnya, berulang kali ia memanggil pemuda itu, berulang kali pula panggilan itu berakhir di kotak keluar. Tania menangis sesenggukan, pikiran negatif semakin menghantuinya karena hal ini. Pada akhirnya ia beralih menghubungi Riko, sosok yang sejak awal tak pernah meninggalkannya.

“Hallo, Tan. Kenapa?” ucap Riko begitu panggilan tersebut tersambung, suaranya terdengar serak, sepertinya baru bangun tidur.

Isak tangis Tania tak dapat terbendung, dengan susah payah ia membuka suara. “Bang.”

Hanya sepatah kata, namun Riko segera mengerti apa yang Tania butuhkan. “Gue ke sana. Jangan berbuat yang aneh-aneh, tunggu gue!”

Suara Riko terdengar panik, sedangkan Tania hanya mengangguk meskipun pemuda itu tak dapat melihatnya. Panggilan dibiarkan tetap tersambung, suara grasak – grusuk dan isakan mengisi kesunyian.

Tania bersyukur masih memiliki Riko di sisinya, meskipun mungkin karena pemuda itu punya hutang budi. Tapi tetap saja, Riko sudah seperti sosok kakak untuk Tania. Mereka memang sering berdebat jika bertemu, saling usil satu sama lain, namun Riko akan selalu datang di saat Tania membutuhkannya.

Pemuda itu tiba di sana kurang dari 15 menit, bergegas masuk dan menghampiri Tania. Wajah Tania sudah memerah karena menangis, gadis itu merentangkan tangan begitu Riko berjalan mendekat. Riko segera menyambut pelukan Tania, dengan lembut mengusap punggung dan kepala gadis itu. “It’s oke, ada gue di sini.”

“D-dia kesini,” adu Tania dengan terbata.
Riko mengerutkan dahi, berusaha mencerna ‘dia’ siapa yang Tania maksud hingga membuat gadis itu menangis seperti sekarang. Namun satu nama terlintas di otaknya, seseorang yang menoreh luka paling dalam bagi Tania. “Tio?”

Tania mengangguk dalam dekapan Riko, sementara pemuda itu mengepalkan tangan mengetahuinya. Padahal ia sudah dengan tegas menyuruh pria paruh baya itu untuk tidak menemui Tania, ternyata hal itu tak dipedulikan oleh Tio. “Brengsek! Ngapain dia?”

Gadis itu hanya menggeleng, masih belum ingin membuka suara. Ia masih terlalu sedih sekaligus terkejut karena kedatangan Tio. Riko mengerti dengan keadaan Tania, tak menanyakan hal itu kembali, biarlah Tania sendiri yang akan menceritakannya nanti.

***

Di sinilah Riko sekarang, sebuah cafe dengan nuansa hitam putih sambil menunggu seseorang. Setelah mendengar cerita Tania lalu menenangkan gadis itu, Riko segera kemari. Ia melirik jam yang melilit pergelangan tangannya, sudah lebih dari 30 menit.
Riko spontan berdiri begitu seseorang yang sedari tadi ditunggu memasuki cafe tersebut, sebuah pukulan ia layangkan tepat ketika Tio berdiri di hadapannya. Teriakan terdengar dari orang-orang sekitar, beberapa pengunjung pria mendekat hendak melerai.

“Brengsek lo! Ngapain lo nemuin Tania, hah?” teriak Riko penuh amarah.

Tio mengusap sudut bibirnya yang berdarah karena pukulan Riko, lalu dengan tenang menatap pemuda di depannya. “Saya mau nemuin anak saya, apa yang salah?”

“Salah karena lo gak diharapkan kehadirannya. Sadar gak sih, lo itu cuma bawa kesedihan buat Tania!” terang Riko. Ia benar – benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Tio, pria itu kembali seolah – olah tak pernah terjadi apa – apa sebelumnya.

“Saya cuma ingin menjelaskan semuanya. Saya menyesali perbuatan saya sebelumnya.”

Riko berdecih, kemudian mendaratkan bokong ke kursi. “Kalau lo nyesel, cukup biarin Tania hidup tenang dan bahagia tanpa kehadiran lo. Gak usah muncul di hadapan dia lagi!”

“Ta—“

“Kalau lo gak bisa diminta baik-baik kayak gini, terpaksa gue lakuin lebih dari pukulan tadi. Lo udah gak punya power apa – apa sekarang, jadi mending ikutin perkataan gue.” potong Riko. Ia tersenyum meremehkan, kemudian bangkit dari kursi. Sebelum benar – benar melangkah pergi, ia menepuk – nepuk pundak pria itu, berharap Tio bisa diajak kerjasama.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang