30. Putus

97 19 6
                                    

Gadis dengan rambut panjang terurai itu melangkahkan kaki memasuki kelasnya, hal pertama yang ia lihat adalah sang kekasih yang kini sudah duduk manis di bangkunya. Tania berdecak sebal, ia hampir terlambat ke sekolah karena berharap Revan akan datang menjemputnya, namun nyatanya pemuda itu sudah tiba terlebih dahulu. Ia menatap kesal pemuda itu, sementara yang ditatap hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada kegiatannya. Tania berjalan menuju bangkunya sembari menghentak-hentakkan kaki, dengan kasar melempar tas punggung ke atas meja kemudian duduk di kursi.

"Kenapa sih, Tan? Pagi – pagi gini udah mau ngamuk aja?" Indri menoleh ke belakang, menatap Tania yang kini menelungkupkan kepala di atas meja.

"Paling masalah semalem, mereka aja gak berangkat bareng kayak biasanya," sahut Sasha ikut memutar kepala ke arah Tania.

Tania menghela napas berat, ia mengangkat kepala menatap kedua sahabatnya itu. "Kesel gue. Dari kemarin sore gak ada kabar, gue pikir pagi ini bakalan dateng ngejemput gue dan minta maaf. Tapi lo liat aja sekarang, mukanya gak ada rasa bersalah sedikitpun."

Indri terkekeh, baru kali ini ia melihat Tania sekesal itu karena diabaikan lelaki. Ini kali pertama Tania semurung itu karena berhubungan dengan seorang pria. "Kayaknya lo beneran udah kena pelet deh sama si Revan, Tan."

"Samperin duluan aja, Tan. Minta penjelasan ke dia, daripada lo kayak reog gini," usul Sasha sembari terkekeh, merasa lucu karena pertama kali melihat Tania yang seperti ini.

Alis Tania mengkerut, tanda tidak sejutu. "Gak, enak aja!"

"Dih, gengsian lo!"

Disisi lain, Revan diam-diam mencuri pandang lewat ujung matanya. Ia menghela napas, ingatannya tentang kejadian semalam membuat pemuda itu kesal. Revan tersadar, bahwa ia sudah mulai menaruh hati pada gadis itu.

Guru Fisika – Pak Ahmad memasuki kelas XII IPA 2, membuat suasana kelas yang tadinya bising bak pasar tradisional kini berubah senyap. Revan memilih menghapus pikiran-pikiran buruknya, berusaha untuk fokus ke depan. Bagaimanapun urusan pelajaran lebih utama bagi pemuda itu.

***

Tania berulang kali mengaduk mie ayam di mangkuknya, nafsu makan gadis itu hilang karena Revan sedari tadi mengabaikannya. Gadis itu berdecak, memikirkan apa yang salah dengan sang kekasih. Seharusnya Tania yang marah di sini, namun Revan sama sekali tak menunjukkan perasaan bersalah.

"Udah gue bilang kan, samperin dulu biar semuanya jelas." Sasha membuka suara, ia menggeleng tak habis pikir. Tania sedari tadi hanya diam dengan wajah masam tapi tidak berusaha meluruskan masalah dengan Revan, begitupun sebaliknya. Sebetulnya apa yang mereka berdua pikirkan? Tidakkah Tania dan Revan seharusnya saling bicara agar semuanya jelas dan bukan malah saling mengacuhkan seperti ini.

"Giliran kayak gini gengsinya setinggi langit, pas dulu ngejar-ngejar Revan malah gak tau malu," sindir Indri. Ia menyeruput segelas es jeruk, namun langsung tersedak karena Tania yang dengan tiba-tiba menjambak rambutnya. "Anjing, Tan. Ampun, sakit woi!"

Tania melepaskan tangannya, menatap Indri seperti hendak menelannya hidup-hidup. "Ini kasusnya beda! Gue it—"

Dering ponsel menghentikan ucapan Tania, segera diraihnya ponsel dari balik saku seragam. Tania mengernyit, nomor tidak diketahui yang menghubunginya. Gadis itu memilih mengabaikannya, ia tidak sedang mood yang baik sehingga menghidupkan mode do not disturb di ponselnya.

Sasha dan Indri saling memberi kode lewat tatapan, seolah bertanya siapa yang menelepon Tania barusan. Keduanya lalu mengedikkan bahu, sama-sama tak mendapat jawaban.

***

"AAAAAA ... REVAN BRENGSEK!" Tania melempar tas punggungnya sembarang ke arah kasus kemudian ikut melemparkan diri di atas situ. Ia berguling-guling tidak jelas, benar-benar kesal hari ini. Tania tak henti-hentinya mengumpat menyebut nama pemuda itu di dalam hati.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang